Sabtu, 27 Oktober 2007

Bengkulu, Kota Seribu Gempa


Seribu Gempa Seribu Kenangan

Blogger, sebelum kembali ke Jakarta Kamis 25 Oktober 2007, selama dua hari aku berada di Kota Bengkulu. Selama berada di sana, tak lupa kusempatkan berziarah ke rumah sanak saudara. Namun aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah paman di daerah Panorama dan di rumah ayuk (kakak perempuan) di BTN Padang Harapan.

Kota Bengkulu memiliki banyak kenangan di benakku. Maklum hampir tiga tahun aku berada di sana menyelesaikan kuliah Diploma III Jurnalistik di Universitas Bengkulu. Selebihnya, pengalaman merasakan gempalah yang sangat berkesan di hatiku. Terlebih baru-baru ini, tanggal 12 September 2007, kota ini kembali diguncang gempa 7,9 skala richter yang meluluhlantakkan banyak fasilitas umum dan rumah penduduk.

Pada waktu gempa pertama mengguncang Bengkulu, 4 Juni 2000 aku sempat merasakan gempa berkekuatan 7,4 skala richter. Bayangkan, selama kurang lebih 5 menit lamanya, bumi berguncang bagaikan berada di tengah lautan yang dilanda ombak dahsyat. Entah, mungkin seperti itulah hari kiamat! Syukur nyawa yang cuma satu ini, juga saudara-saudara, masih diberi keselamatan. Pun bangunan-bangunan rumah yang kami tempati tidak mengalami kerusakan berarti.

Sejak itu, hingga kejadian gempa 7,9 skala richter yang baru-baru ini terjadi, gempa seakan telah akrab dengan warga Bengkulu. Susul menyusul, gempa berkekuatan kecil, menengah dan besar silih berganti datang bagai hantu yang menakutkan. Semua itu menyadarkan betapa tiada kekuatan paling dahsyat selain kekuatan dan kekuasaan Yang Maha Kuasa, Allah SWT.

Blogger, subuh tanggal 25 Oktober 2007 atau hari dimana aku kembali ke Jakarta (saat menginap di rumah ayuk di BTN Padang Harapan), aku juga sempat merasakan kedahsyiatan gempa yang mengguncang Kota Bengkulu. Kali ini, menurut catatan resmi, kekuatannya tak kalah dahsyat, 7,0 skala richter. Lagi-lagi, syukur kepada Allah, kami masih diberi keselamatan dan bangunan rumah sanak saudara tidak mengalami kerusakan berarti.

Dari Kota Bengkulu, siangnya sekitar pukul 13.00 WIB aku terbang dengan menumpang pesawat Sriwijaya Air menuju Jakarta. Dari ketinggian, terbentang pemandangan yang mempesona. Tidak tampak kalau di bawah sana banyak bangunan yang rusak akibat gempa. Dan tak sedikit warga yang selalu dicekam ketakutan kapan gempa akan kembali mengguncang. Duh, Bengkulu…

24 Jam di Pagaralam


Reuni Kecil para Bujang Belantan

Kamis-Jumat, 18-19 Oktober 2007, masih dalam suasana mudik lebaran, aku menyempatkan mengunjungi Kota Pagaralam, yang masih termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan. Jarak tempuh kota berhawa sejuk karena berdekatan dengan Gunung Dempo ini, tidak begitu jauh dari kampungku, Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang. Kalau menggunakan kendaraan bermotor sekitar 2,5 jam perjalanan.

Di Pagaralam, selain menikmati hawa pegunungan Bukit Teh yang sejuk, mengunjungi situs peninggalan jaman purbakala, dan singgah di obyek wisata Sungai Lematang, kami juga beziarah ke rumah teman-teman seperjuangan sewaktu kami sama-sama di Leuwiliang-Bogor dahulu. Tak ada hal yang lebih istimewa selain menumpahkan kerinduan, bercerita mengenang masa lalu yang penuh pelajaran, dan yang tak kalah seru bercerita mengenai prospek ke depan.

Di Pagaralam, kami bermalam di rumah Kak Agus yang sederhana. Banyak hal menarik dari apa yang dikatakan Kak Agus. Di antara hal yang paling menarik, dari sekian banyak hal menarik, adalah keinginan Kak Agus untuk maju menjadi calon Walikota Pagaralam melalui pintu calon independen. Pilkada Pagaralam akan digelar sekitar bulan Februari 2008.

Blogger, wacana calon independen dalam sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia saat ini memang sudah mengalami sedikit kemajuan. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan calon independen bisa mengikuti pemilihan kepala daerah tanpa harus melalui pintu partai politik. Peraturannya tinggal menunggu pembahasan dan pengesahan dari para Wakil Rakyat di DPR RI saja. Berdasarkan perkembangan inilah Kak Agus akhirnya memutuskan maju melalui pintu calon independen pemilihan Walikota Pagaralam.

Keinginan Kak Agus maju, menurutku merupakan langkah yang sangat strategis baik bagi Kak Agus sendiri maupun bagi pendidikan politik rakyat Pagaralam. Apalagi wacana "kontrak mati" yang akan didengungkan Kak Agus saat benar-benar maju nantinya. Menurutku ini merupakan starting point yang benar-benar akan menggugah kesadaran masyarakat akan arti pentingnya sebuah komitmen, hal mana sangat dibutuhkan bagi seorang figur pemimpin.

Sebagai pribadi dan tim, kami akan mendukung apa yang diperjuangkan Kak Agus, asalkan masih dalam koridor yang benar dan lurus. Keep the fight boy!

Sejuta Berkah Pulang Kampung


Inspirasi dan Spirit Baru

Kamis, 25 Oktober 2007, kembali kaki ini menjejak Jakarta, kota yang masih banyak orang percaya memiliki berjuta mimpi. Puas sudah setelah dua minggu lamanya--bisa dikatakan begitu--aku mudik ke kampung halamanku, Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Aku berangkat dari Jakarta Rabu, 10 Oktober 2007 atau tiga hari sebelum lebaran. Liburan terpanjang ini, tentu tak akan pernah kudapatkan di tempatku bekerja sebelumnya yang paling lama cuma dapat libur tiga hari!

Blogger, mudik tahun ini memang sedikit membawa berkah bagiku. Tak disangka, aku ditugaskan melakukan wawancara khusus dengan seorang narasumber di Palembang, dilanjutkan meliput kondisi PDAM di daerahku pasca pemekaran, PDAM Kabupaten Empat Lawang, lalu meliput profil PDAM Kota Lubuk Linggau. Tentu saja pekerjaan “dinas” ini kulakukan di sela-sela mudik lebaran. Yang paling menyenangkan, ini yang paling menyenangkan, dari sisi akomodasi dan transportasi semuanya ditanggung kantor. Wuiihhh…

Tak hanya itu, momentum pulang kampung tahun ini selain bisa menumpahkan kerinduan dengan keluarga tercinta, juga telah memberikan sebuah spirit dan inspirasi baru dalam diriku.

Blogger, setelah melihat kondisi di daerahku pasca pemekaran dari kecamatan menjadi kabupaten, aku terpikir untuk mengubah jalan hidup menjadi seorang wiraswasta (Hehe mohon dukungannya ya dengan mengirim SMS ke 0813 8011 8125 ;-D). Saat ini telah terpikirkan olehku bentuk usaha yang tepat kukembangkan di kampungku. Namun maaf, untuk alasan bisnis belum bisa kujelaskan di sini loh...:-P

Blogger, hidup memang harus dimulai dari yang kecil sebelum menjadi besar. Kalau kita yakin bisa kita pasti bisa. Yakinlah perubahan akan membawa kita menjadi lebih baik. Selamat berbena-benah yah...

Senin, 08 Oktober 2007

Lebaran oh Lebaran


Menanti Hari yang Dinanti

Pada waktu kecil dulu, dari sekian banyak hari, hari yang puaaliing dinanti adalah hari Lebaran. Pun, rasanya, hingga sekarang masih sama. Iya toh?

Mengapa waktu kecil, hari Lebaran menjadi hari yang selalu kita nanti? Banyak sekali jawabannya. Yang paling utama, karena pada hari itu semua yang kita pakai serba baru; baju baru, celana baru, topi baru... Ditambah makanan yang serba lezat; ada ketupat, opor ayam, juadah basah, kueh kering hmmm… Dan yang terpenting juga hadiah angpao dari orang-orang terdekat. Wuiihh senengnya… :-P

Tak hanya itu, waktu kecil hari Lebaran benar-benar indah untuk bermain. Namanya anak kecil, tak pernah terpikir untuk memaknai Lebaran sebagai hari kemenangan dan penyucian hati, seperti makna Idul Fitri itu sendiri. Sedikit pun, mugkin tak pernah terpikir untuk memaknai Lebaran tak sekedar jabat tangan dan ungkapan maaf. Namanya juga anak kecil. :-(

Yu, mari, di sepeninggal usia kanak-kanak, kita maknai Idul Fitri kepada makna yang hakiki, tak sekedar hari penuh suka cita. Yu, mari,,,, :-D

Sabtu, 06 Oktober 2007

Pulang Kampung Gretong


Horee...Pulang Kampung Yuuu....

Tradisi pulang kampung di saat lebaran sudah menjadi tradisi tahunan sejak lama. Pun di lebaran tahun 2007 ini. Yang menyenangkan justru bagi mereka yang bisa mudik merayakan lebaran bersama keluarga tercinta. Alhamdulillah termasuklah aku sendiri ;-P.

Bila tahun kemarin aku tidak bisa pulkam karena libur pekerjaan yang super-singkat, alhamdulillah di tahun ini--setelah pindah kantor baru tentunya--aku bisa mudik juga. Asyiiiikkk……

Yang lebih membahagiakan--selain bayangan kumpul keluarga, bercengkrama dengan ponakan-ponakan (karena aku masih buzangan alias belum punya anak coii), ketemu teman-teman lama, dan juga makan masakan ueeenaak buatan ibu--mudik tahun ini aku pulang secara gretong alias dibiayai kantor. Naik pesawat coii. Lha kok bisa?

Ini yang namanya rejeki nggak kemana-mana bro... Ceritanya 3 hari sebelum lebaran kantorku ada janji wawancara dengan Dirut PDAM “Tirta Musi” Palembang, DR. Ir. Syaiful, CES, DEA. Berkat kebijaksanaan editorku Pak Dwike Riantara, akhirnya akulah yang ditunjuk untuk wawancara (padahal pssstt…aku kan masih reporter junior?). So, sehabis wawancara aku bisa langsung bertolak ke kampung halamanku, Tebing Tinggi-Lahat. Ueenaak tenaaann…

Syukur kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan karunia kepada hamba-Nya. Mudah-mudahan keberkahan Ramadhan 1428 Hijriyah tahun ini, membawa kita pada perubahan yang lebih baik. Salam pulang kampung. Jangan sedih bagi yang belum bisa pulkam. Terus berusaha dan berdoa yah. Jangan lupa bayar zakat :-P.

Favorit di Kamboja belum Tentu di Indonesia

Daging Tikus, Menu Favorit di Kamboja

Di Kamboja, daging tikus merupakan salah satu menu favorit. Bagaimana dengan di Indonesia? Wah, jelas saja semua pasti sepakat—no way! Tapi kasihan yah, tak sedikit pedagang bakso kita yang nakal mengoplos daging sapi dengan daging tikus. Hiii,,,

Phnom Penh, 18 Pebruari 2004 11:16/AFP/GATRA

Wabah flu burung sudah merugikan, bahkan membikin bangkrut peternak di Asia. Namun kini ada peluang baru bagi para pedagang, khususnya di Kamboja: jualan daging tikus!

"Saya selalu mendapatkan permintaan terus menerus dari pembeli," ujar Van Vath, seorang tukang daging tikus di Battambang, sebuah kota di Barat Kamboja, kepada harian Cambodge Soir, sebagaimana dilansir AFP.

Dengan jumlah pembeli yang sekarang sudah menjadi pelanggan, permintaan akan tikus semakin tinggi. Sejak mewabahnya virus flu burung yang tercatat telah mematikan jutaan ayam dan sedikitnya 20 nyawa manusia, wanita ini telah menjual lebih dari 200 kilogram daging hewan pengerat ini setiap paginya-dua kali lebih banyak dari penjualan biasanya.

Di sejumlah negara Asia Tenggara yang tertinggal, tikus dikonsumsi manusia setelah digoreng atau dipanggang dan dimakan dengan sayur. Harganya pun terhitung sangat terjangkau, yakni 40 sen AS per kilogram. Tikus merupakan makanan favorit di pedesaan Kamboja.

Selain itu, laba-laba, kumbang air, jangkerik, ular, katak, dan semut juga merupakan makanan tradisional di Kamboja. Menurut sejarah, jenis hewan tersebut dikonsumsi oleh para petani yang kelaparan, saat rezim Khmer Merah di tahun 1970-an.

Bagaimana dengan di Indonesia? Kita patut waspada!

Lain negara, lain pula selera. Blogger, saya pikir kita sepakat, senikmat apa pun yang namanya daging tikus di lidah orang Kamboja, namun di negara kita tentu lain persoalan. Belum ada ceritanya dalam sejarah kuliner kita yang menyebutkan daging tikus itu mak nyuusss rasanya… Kalau tidak percaya coba saja tanya ke Om Bondan Winarno. Kalau ke Islam sendiri sudah jelas hukumnya; daging tikus tak beda jauh dengan daging celeng dan daging anjing.

Blogger, isu tentang penjual bakso yang mengoplos daging sapi--daging yang banyak digunakan sebagai bahan olahan bakso--dengan daging tikus pun bukanlah isu baru. Bahkan hingga sekarang, para penikmat bakso sering kali dihinggapi perasaan was-was saat akan memakan panganan yang satu ini. Bagi penikmat bakso, tentu hal ini amat merisaukan.

Tak hanya bakso, sebenarnya, yang harus kita waspadai. Di pasaran juga sering kita dengar ulah para pedagang nakal yang mementingkan kepentingan sesaat. Ada daging yang disuntik dengan air biar tambah berat, daging tiren (mati kemaren) alias bangkai, daging yang diberi formalin dan pengawet sejenis lainnya, daging babi/tikus yang dioplos, dan lain-lain.

Tak ada cara lain, sebagai konsumen selain mengharapkan keseriusan pemerintah untuk segera mengatasi para pedagang yang curang, kita harus lebih hati-hati dan lebih teliti. Ingatlah pesan Bang Napi: “Waspadalah…waspadalah…”

Jumat, 05 Oktober 2007

Superman Never Die

Ingin Jadi Superhero? Gampang!

Ingin jadi seorang superhero yang sebenarnya? Gampang. Ga perlu jauh-jauh dan mahal. Di Indonesia ada seorang ibu-ibu tua yang bisa melahirkan superhero-superhero yang sesungguhnya. Siapakah dia?

Pada saat membuat karikatur Superman, sambil tertawa-tawa sendiri karena lucu sendiri, aku terkenang saat masih kecil dahulu. Waktu itu, aku termasuk penggemar berat serial tivi Superman loh. Hampir tidak pernah kulewatkan serial yang satu ini. Dalam benakku, terkagum-kagum betapa hebat dan gagahnya sosok Superman itu.

Bertahun-tahun setelah itu, tokoh rekaan dari DC Comics karya seniman Kanada, Joe Shuster dan penulis AS Jerry Siegel pada tahun 1932 itu, tetap hidup dan melegenda hingga sekarang. Mengiringi kesuksesan The Man of Steel, kini bermunculan pula tokoh-tokoh yang nggak kalah oke lainnya seperti Batman, Spiderman, Catwomen, Wonderwomen dll.

So and the so, kapan yah tokoh-tokoh superhero kita seperti Lutung Kasarung, Gatot Kaca, Si Buta dari Goa Hantu, Jaka Sembung, Jaka Tarub, Samson Betawi, Suparman, Suparmin, truz ada Mak Lampir, Mak Erot, Nyi Blorong… Eh, emak-emak dan nyi-nyi masuk nggak yah superhero made in Indonesia?

Hmm…sepertinya kalau Mak Lampir dan Nyi Blorong patut dipertanyakan kredibilitasnya. Tapi kalau Mak Erot? Wah, cocok sekali menyandang julukan superhero yang sebenarnya. Lah kok bisa? Ya iyalah, karena dia bisa membantu ribuan lelaki menjadi ‘superhero’ yang tadinya superloyo. :-D

Jadi, ketimbang mengagumi tokoh rekaan asal luar, rasanya lebih bermakna kalau kita mengagumi superhero kita sendiri seperti Mak Erot itu. ;-P

Duh Infotainmen

Infotainmen Cermin Wajah Bangsa-kah?

Sedikit catatan dari orang yang pernah merasakan bekerja sebagai pewarta infotainmen. Sekedar curahan pendapat, bukan untuk mengecilkan arti sebuah upaya. Tak ada masalah, masalahnya justru terletak pada masalah itu sendiri. Bingung kan? "Bo, ini kan infotainmen…"

Bekerja di dunia infotainmen membuatku banyak belajar dan belajar banyak. Lebih satu setengah tahun (Agustus - Nopember 2005 dan dilanjutkan Mei 2006 - Juli 2007) aku merasakan pengalaman cukup mengesankan selama bekerja sebagai reporter di sebuah production house (PH) yang memproduksi tayangan Lens-JakTV, Kroscek-TransTV dan situs Krosceknews.com. Keseharian pekerjaanku tak jauh-jauh dari dunia keartisan yang, jujur saja, banyaklah menyimpan kepalsuan (geto lohh).

Kepalsuan yang kumaksud berkenaan dengan pola kehidupan artis--tapi tidak semuanya juga loh--yang serba glamour dan cenderung tidak memiliki empati pada keseharian rakyat kita yang serba susah, juga dipenuhi retorika yang, meminjam istilah Tukul "Katro" Arwana-narsis tralala, dengan statemen-statemen yang (lagi-lagi kebanyakan loh)-dangkal dan tidak penting amat gitu loh.

Bo, namanya juga infotainmen? :-P

Terkadang lagi, materi pertanyaan cenderung menjungkirbalikkan logika keilmuan seorang reporter (oya, rata-rata pewarta infotainmen pendidikannya Strata Satu loh). Bayangkan kita bertanya tentang hal yang tidak sebanding dengan kompetensi seperti: “Berapa kali Anda pacaran”, “Berapa kali Anda diputusin”, “Anda sekarang lagi jalan ama siapa”, “Mengapa Anda bercerai”, “Kapan kamu menstruasi pertama kali”, “Mengapa kamu senang anjing” blablabla… Ya ampun, sungguh, anak kecil pun kalau cuma seperti itu bisa juga dong.

Tapi memang, tak bisa dipungkiri predikat artis, menurutku, adalah sebuah kapital. Beruntunglah bagi mereka yang berpredikat sebagai artis. Mereka adalah ‘barang dagangan’ yang super-ekslusif, mahal dan bisa menaikkan promosi suatu produk. Tak salah bila untuk menjadi seorang artis atau selebritis, orang bisa mengorbankan segalanya. Tak terkecuali kehormatan dan rasa malu (masa sih?).

Jurnalisme infotainmen sendiri, yang kabarnya menjadi anak tiri PWI, rupanya tanggap dengan fenomena ini. Sejak kebangkitan era televisi swasta tahun 1996, infotainmen bermunculan bak jamur di musim hujan di hampir setiap televisi swasta. Bayangkan, setidaknya kita punya 12 stasiun televisi swasta. Bila rata-rata setiap televisi memiliki 4 acara infotainmen, berarti ada 48 infotainmen di Indonesia. “Jangan salah, ini menyumbang lapangan pekerjaan yang tidak kecil,” kata seorang saudagar pemilik infotainmen mencoba menakar dampak positifnya, saat heboh kontroversi tayangan infotainmen belum lama ini.

Terlepas itu, masyarakat memang mengapresiasi dengan baik beragam acara infotainmen itu. Terbukti--meski pernah difatwakan haram oleh NU untuk pemberitaan yang mempergunjingkan terlalu dalam rumah tangga orang lain--infotainmen tidak pernah surut dari masa ke masa. Bahkan bisa menandingi rating program acara berita di televisi. Sudah pasti, media yang banyak peminatnya mendatangkan fulus berupa pemasangan iklan. Buah karya para jurnalis infotainmen, diganjar dengan omzet miliaran rupiah. Tapi bukan milik para pekerja loh.

Jurnalisme infotainmen tergolong baru. Hal ini muncul justru disebabkan efek ikutan dari apa yang disukai massa. Bicara massa, dalam perspektif dunia pemasaran, adalah uang. Fakta ini tak terbantahkan. Uniknya, infotainmen tidak mementingkan apa inti pembicaraan. Pembicaraan yang terkesan dungu sekali pun bukanlah sebuah masalah. Tak penting apa yang mereka katakan, tetapi siapa yang mengatakan apa. Ujung-ujungnya tak jelas, siapa yang melayani siapa dan untuk apa (sebenarnya).

Bo, ini kan infotainmen…?

Nyambungnya lagi, artis mengapresiasi infotainmen dengan sukacita. Bahkan ada--sebagian loh--yang mencari-cari masalah untuk digosipkan supaya menjadi bahan perbincangan. Catet, ini tak berlaku bagi artis yang terkenal atau pun tidak. Sama saja. Sedikit kepalsuan untuk menaikkan nilai jual tak apalah, meski kehidupan pribadi dikunyah-kunyah oleh khalayak. Promosi gratis untuk menaikkan pamor geto lohh…

Simbiosis mutualisme pun melanggengkan hubungan ini. Tapi benarkah itu menguntungkan artis dan pekerja infotainmen? Kalau dipikir, sebenarnya, bukan keuntungan pekerjanya, melainkan para saudagar-saudagar pemilik infotainmen dan televisi itu loh. Tidak sama sekali masyarakat. Tidak sama sekali selain waktu yang terbunuh secara manis dengan menikmati tingkah pola para artis yang dibungkus dalam balutan karya jurnalistik. Mereka menyebutnya “hiburan”. Tapi benarkah?

****
Jujur kacang ijo, sudah lama aku ingin hengkang dari dunia yang satu itu. Namun karena keadaan dan belum ada pekerjaan yang benar-benar cocok, akhirnya aku tetap bertahan dengan hati yang setengah terpaksa (kesian yah?). Betapa perihnya digosipin, tapi tahukah Anda, betapa perih juga jadi tukang gosip hehe…

Bo, namanya juga infotainmen.

Pada prinsipnya, bukan cara mencari beritanya yang aku tidak suka. Untuk bahan pembelajaran mengasah kemampuan jurnalistik, sebenarnya bekerja di dunia infotainmen tidak ada yang salah, bahkan cenderung dianjurkan. Teknik-teknik pelaporan yang diterapkan tak berbeda jauh dengan news-broadcasting dan media cetak populer. Bahkan tak hanya mengandalkan pakem jurnalistik 5W+1H, tetapi juga seni mengemas berita menjadi investigative reporting, narrative reporting dengan sentuhan sastra yang memukau (kata lain dari puitis) hehe….

Yup, terlepas dari ketidaknyaman bekerja di dunia infotainmen--terutama yang dimiliki PH--semisal soal pembagian ranah waktu yang terlalu ekstrem, dan juga sistem bekerja yang belum ada keberpihakan kepada kelas pekerja, infotainmen--lagi-lagi bukan cara mencari beritanya--sungguhlah sebuah pekerjaan yang apa yah? Buah simalakama? Entahlah...

Bo,,,

Udah ah! Bo, bo, mulu emang kebo ;-P? Salam takzim.

Jembatan Selat Sunda


Proyek Prestisius itu Bernama Jembatan Selat Sunda

Rabu, 4 Oktober 2007, Pemda Lampung dan Pemda Banten, bersama rekanan mereka dari Artha Graha Network, menandatangani nota perjanjian pelaksanaan prastudi kelayakan pembangunan jembatan Selat Sunda sepanjang 29 kilometer yang diperkirakan menelan dana Rp. 100 trilyun.

Model konstruksi jembatan yang akan menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera itu kemungkinan besar adalah tipe suspensi. Seperti diketahui, salah satu kendala pembangunan di tengah laut adalah adanya palung laut sedalam 200 meter dengan panjang 2,5 kilometer.

Rencananya di atas jembatan juga akan dibangun jalur kereta api Trans-Jawa-Sumatera. Studi kelayakan akan dilakukan selama 2 tahun. Apabila dinyatakan layak, baru pada tahun 2012 pembangunan jembatan Selat Sunda bisa dimulai.

Selain dapat menimbulkan multi-flier effect dari sisi ekonomi dan budaya bangsa, pembangunan jembatan ini tentu akan meningkatkan kebanggan (pride) kita sebagai bangsa. Namun yang menjadi pertanyaan, dari manakah sumber dana pembangunan jembatan tersebut? Serta yang tak kalah penting teknologi manakah yang akan dipakai nantinya?

Apakah, lagi-lagi, harus mengandalkan teknologi dan sumberdaya manusia dari luar? Padahal, di negeri ini, telah ditemukan sebuah teknologi baru karya anak bangsa yang bisa mengatasi problematika dunia pembangunan (fisik konstruksi) seperti persoalan kecepatan, kekuatan, termasuk persoalan gempa dan pembangunan dasar laut yang mengandung tingkat kerumitan luar biasa.

Wahai petinggi negeri, teknologi itu adalah “Teknologi Delta Qualstone” karya anak bangsa sendiri.

Kamis, 04 Oktober 2007

Cerpen "Tragedi di Sungai Musi"


Tragedi di Sungai Musi
Sebuah Cerita Pendek

Sinaps: Kisah seorang gadis desa bernama Marni yang hidup di pinggiran Sungai Musi, sungai besar yang membelah Kota Palembang. Kisah yang berakhir tragis di antara hening Sungai Musi dan gemuruh sebuah pesta rakyat: organ tunggal!

****

WANITA itu, Marni namanya, mengelus-elus rambutnya yang panjang sampai menjela bahu. Matanya yang bulat memandang keindahan Sungai Musi yang masih ditutupi kabut tipis. Pagi itu, entah pagi yang ke berapa, Marni kembali melakukan aktivitasnya.

Sepagi itu, Marni terbiasa melakukan kebiasaannya. Bangun subuh-subuh sekali untuk membantu ibunya membuat jajanan warung, mencuci, lalu mandi di sungai yang membelah Kota Palembang.

Marni membetulkan letak kain mandi yang membelit tubuhnya. Hati-hati dituntunnya kaki menuju rakit. Selesai mandi ia harus segera mengantarkan kue-kue yang dibuat ibunya, sebelum anak-anak berangkat sekolah. Dan sepagi itu, Marni hanya sendiri.

Meski dinginnya Sungai Musi bagai mencucuk tulang, bukan hambatan baginya untuk menceburkan diri ke dalam sungai. Rasa segar setelah mandi sangat terasa manfaatnya. Dari bibirnya yang mungil terdengar senandung kecil. Hitung-hitung menghibur diri dari sergapan dinginnya Sungai Musi.

Marni merasa apa yang dirasakannya merupakan rahmat dari Tuhan. Meski cuma tinggal di pinggiran kota, jarang ia dapat bercengkrama secara leluasa dengan alam. Ia pun menyadari kebiasaannya mandi pagi-pagi sekali itu, merupakan pilihan yang tepat. Tepat karena bila saja ia mandi agak siang maka sungai yang jernih itu sudah tidak asli lagi. Tangan-tangan manusia sudah mulai mencemari sungai dengan berbagai limbah dan kotoran.

Ia merasa sedih, sungai yang menjadi salah satu sandaran hidup banyak orang kini telah tercemar dimana-mana. Padahal, sungai itu sendiri dimanfaatkan oleh banyak orang untuk berbagai keperluan seperti mandi dan mencuci. Sungai juga tempat habitat banyak ikan yang bisa dimanfaatkan untuk santap sehari-hari. Tapi kini, sulit menemukan kondisi sungai yang bersih selain sepagi itu.

Marni ingat kata-kata gurunya di SMU dulu. Gurunya mengatakan kebiasaan masyarakat membuang sampah dan kotoran di sungai sulit dihilangkan karena sudah dilakukan sejak dahulu. Semacam sudah menjadi tradisi. Di samping memang karena berbagai faktor seperti kemiskinan dan kurangnya pemahaman masyarakat akan budaya hidup bersih. Toh, meski berbagai macam alasan, Marni tetap tak habis pikir dengan kebiasaan masyarakatnya yang kurang sehat itu.

Satu kali Marni pernah membaca artikel di sebuah koran lokal tentang budaya dan perilaku masyarakat di luar negeri. Sungai-sungai di sana benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kenyamanan warganya. Selain dijadikan air baku untuk air minum, sungai di luar negeri juga dikelola sebagai tempat wisata. Hukum pun benar-benar ditegakkan bagi mereka yang mencemari sungai. Ujung-ujungnya, dengan pengelolaan yang baik tak hanya pemerintahnya yang senang, warga pun merasakan manfaatnya.

Tak mau berlama-lama dengan pikirannya, Marni segera saja menyelesaikan mandinya membasuh tubuh dengan sabun wangi. Tak hanya itu, berendam lama-lama nanti bukannya menyegarkan malah mendatangkan penyakit.

Marni mengangkat tubuhnya yang basah ke atas rakit di pinggir sungai. Agak kaget ia melihat orang yang datang. Orang itu tak lain Zainal, lelaki yang di kampungnya dikenal dengan julukan si hidung belang. Maklum, sudah punya anak isteri tetapi gemar menggoda anak gadis orang. Tiba-tiba perasaan Marni jadi tidak enak. Terlebih dengan sepinya suasana pagi itu.

“Selamat pagi manis,” ujar Zainal, bibirnya menyungging sebuah senyuman nakal.

Marni segera menyadari keadaan dirinya. Kain mandinya yang basah benar-benar seperti mencetak lekuk-lekuk tubuhnya yang molek. Gadis itu tidak ingin keadaanya itu menimbulkan pikiran-pikiran jorok dalam diri lelaki itu.

“Aduh sombongnya. Sendirian saja ya?“ kembali suara si lelaki terdengar, seolah ingin secepatnya minta ditanggapi.

Marni hanya melempar senyum kecut sekedar membalas sapaan orang. Dia lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Entah, ia tiba-tiba merasa risih. Apalagi sambil berlalu tadi masih sempat dilihatnya pandangan liar lelaki itu yang seolah hendak menelannya.
****

Hari demi hari dilewati Marni seperti biasa. Bangun pagi-pagi sekali untuk membantu ibunya, lalu merasakan nikmatnya belaian air sungai yang menyejukkan.

Nun di tempat lain, tanpa disadari si gadis, sepasang mata liar milik Zainal selalu mengawasi gerak-geriknya. Hati lelaki berusia 35 tahun itu rupaya telah tertambat dengan kemolekan tubuh Marni. Timbul pikiran-pikiran jorok dalam diri Zainal.

Kepala Zainal pusing. Dan jawaban dari semua itu adalah Marni.
****

Malam itu bulan sepertinya sedang menunjukkan pesonanya. Marni bukannya tak menyadari itu. Dari tadi ia bersenandung riang di teras rumahnya sembari menikmati bulan yang malam itu begitu sempurna.

Puas menikmati pemandangan malam, Marni lalu masuk ke dalam kamarnya. Ia kini asyik mematut diri di depan cermin. Sendiri.


Marni sering mendengar pujian dari orang lain mengenai dirinya. Mereka bilang ia gadis yang cantik dan rajin membantu orang tua. Jujur saja, Marni bukannya tidak bangga dengan segala macam pujian itu. Hatinya berbunga.

Ia bersyukur atas anugrah yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sebisanya Marni memelihara kecantikannya dengan menjalani hidup bersih dan sehat. Itu saja rahasianya.

Sebagai kembang desa, Marni sering dicap sombong oleh banyak lelaki lantaran menolak cinta ataupun pinangan mereka. Padahal, ia hanya mencoba bersikap jujur kepada para pemuda itu. Ia sudah memiliki tambatan hati. Seorang pemuda baik hati yang kini sedang bekerja di Malaysia. Seorang TKI. Bagaimana mungkin ia mengkhianati cinta kekasihnya?

Dua tahun lalu, sebelum kekasihnya berangkat ke Negeri Jiran, mereka telah berikrar untuk menjaga cinta suci mereka. Sepulangnya nanti, sang kekasih telah berjanji untuk menyunting dirinya sebagai isteri.

“Sepulangnya Abang nanti, Abang janji akan melamar Marni,” begitu janji sang kekasih.

Teringat kata-kata itu Marni jadi tersenyum sendiri. Seketika rindu menyergap dirinya. Kalau sudah begitu, foto sang kekasih di sudut kamar menjadi pelabuhan berbagai rasa yang membuncah hatinya.

Berada dalam suasana rindu berat, membuat Marni terkaget tatkala mendengar ketukan pintu kamarnya. Pasti sahabatnya Tika, pikir Marni. Malam itu, mereka memang sudah janji menonton orgen tunggal di ujung kampung.

Sebenarnya Marni merasa sungkan mengingat acara seperti itu bukanlah acara yang baik untuk gadis seperti mereka. Tapi karena desakan sahabatnya, Marni akhirnya tidak bisa menolak. Apalagi mereka sudah sepakat untuk tidak berlama-lama di sana. Tak apalah, hitung-hitung sebagai hiburan dari pada terus-terusan disiksa rindu pada sang kekasih.
****

Selesai berdandan seadanya, Marni lalu pamit pada orang tuanya. Ibunya wanti-wanti agar ia jangan terlalu larut pulang dari sana. Mereka berangkat dari rumah sekitar pukul 20.30.

Setibanya di sana acara resmi ternyata baru saja dimulai. Marni dan Tika dipersilahkan duduk di kursi undangan yang masih kosong. Di atas panggung, terdengar kata sambutan bernada basa-basi dari ahli rumah. Lelaki yang menyampaikan pidato seadanya itu mengungkapkan acara itu diadakan dalam rangka syukuran atau selamatan salah satu keluarga yang baru saja dilantik sebagai anggota Bintara Polri. Seluruh keluarga malam itu tampak sukacita, termasuk si polisi muda yang duduk paling depan di kursi undangan. Marni mengenal pria muda itu. Seorang sahabat kecilnya yang pernah menyatakan cinta kepadanya.

Setelah acara resmi selesai, acara berlanjut ke acara hiburan. Acara yang paling banyak dinanti. Seorang biduanita membuka acara hiburan dengan nomor-nomor lagu pilihannya. Suara musik dangdut sontak membahana. Seorang lelaki tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan lagak seorang jawara ia menyawer sang biduan yang berpakaian dan bersuara seksi.

Marni mengenal orang yang menyawer si biduan. Ia tak lain si lelaki hidung belang Zainal. Dari atas panggung mata lelaki itu mengerling ke arahnya. Dari tadi rupanya Zainal memperhatikan kehadiran Marni di acara tersebut. Dan Marni bukannya tak memperhatikan hal itu.

Belum pukul sepuluh Marni lalu mengajak Tika pulang. Ia jengah berada di tempat seperti itu. Apalagi dilihatnya orang-orang banyak yang mabuk. Belum lagi pandangan jalang si Zainal. Lengkap alasannya untuk lekas-lekas pulang ke rumah.
****

Dalam perjalanan pulang, Tika tiba-tiba bertemu Tono, pacarnya. Karena rumahnya sudah tidak terlalu jauh, dan lagi Marni tidak mau mengganggu pasangan yang sedang dimabuk asmara itu, ia lalu memutuskan pulang sendiri. Dan, justru di sinilah petaka itu dimulai.

Marni tak menyadari sepasang mata membuntutinya sejak ia dan Tika memutuskan pulang. Mata itu merah. Bau alkohol tercium dari mulutnya yang menyunggingkan seringai. Terlebih saat mengetahui Marni kini sendirian.

Kejadian itu begitu cepat. Ketika melewati pengkolan jalan gang rumahnya yang memang agak gelap, Marni merasakan tangan kekar mendekapnya dari belakang. Dia mau berteriak minta tolong, tetapi mulutnya sudah disumpal orang dengan sapu tangan. Hidungnya mencium bau sesuatu yang begitu menyengat. Entah bau apa, seperti bau obat. Napas gadis malang itu megap-megap. Sejurus kemudian ia sudah tidak sadar lagi apa yang telah terjadi atas dirinya.
****

Lelaki itu menatap mangsanya yang tergolek tak berdaya di semak-semak pinggir sungai. Bibirnya mengumbar seulas seringai kemenangan. Napasnya turun naik dikuasai hawa nafsu dan alkohol. Tanpa tunggu lebih lama si lelaki menggagahi tubuh Marni yang tergolek tak berdaya. Tidak cukup hanya satu kali, gadis malang yang belum lagi sadar dari pingsannya itu diperkosa berulang kali.

Malam itu, di pinggir Sungai Musi yang beriak kecil telah terjadi peristiwa kebiadaban anak manusia. Tak begitu jauh dari sana, penduduk mulai ramai menabuh kentongan tanda terjadi sesuatu yang tidak beres. Yah, sesuatu yang tidak beres malam itu adalah raibnya seorang gadis yang beberapa saat lalu habis menonton acara organ tunggal di kampung itu.

Dan malam itu serasa lebih panjang bagi para penduduk, terutama keluarga si gadis yang tak lain adalah Marni. Mereka sibuk mencari Marni ke sana kemari.

Keesokan harinya, saat sinar matahari mulai menerpa wajahnya, Marni tiba-tiba tersadar dari pingsannya. Yang pertama kali dirasakan gadis itu adalah perih di bagian bawah tubuhnya. Dilihatnya pakaian yang ia kenakan berserakan di mana-mana.

Menyadari apa yang telah menimpa dirinya, Marni menjerit sekuat yang bisa dilakukannya. Beberapa orang penduduk yang mendengar jeritan gadis malang itu tergopoh-gopoh mencari sumber suara.

Mereka menemukan seorang gadis yang sedang menangis di atas perahu yang tertambat di tepian Sungai Musi. Ya Tuhan, gadis itu Marni. Gadis yang tadi malam dikabarkan hilang setelah menyaksikan acara pesta organ tunggal!

Dimuat di Harian Sriwijaya Post Minggu, 19 Januari 2003

Banyak Belajar dari Kesulitan


Bermain Kolecer Jadi Kegiatan yang Menyenangkan
Catatan perjalanan Teknologi Delta Qualstone di Leuwiliang-Bogor ***3


Hidup adalah sebuah proses. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan. Tapi kita punya keyakinan. Dan keyakinan itulah yang membuat kami bertahan meski dalam kondisi sesulit apapun. Catatan ini kurangkum dari tanggal 14 Maret-14 April 2006 --(sebelum membaca tulisan ini disarankan untuk membaca "Sang Mpu Pergi Meninggalkan Kami" -bagian tiga dari tiga tulisan).

* * * *
Sebuah Renungan

Catatanku kali ini kuawali dengan sebuah pertanyaan besar. Mungkin. Di setiap sudut pandang individu, yang kebanyakan masyarakat dalam wilayah persinggahan orang-orang Delta. Juga orang-orang di sekitar Delta, sahabat, bahkan tak sedikit dari anggota keluarga, yang menurutku belum sepenuhnya memahami arti perjalanan ini. Mengapa orang-orang seperti kami, yang dintaranya memiliki potensi di bidangnya masing-masing, rela “menyia-nyiakan” waktu demi sesuatu yang belum tampak hasilnya. Bahkan bagi yang sudah berkeluarga, sanggup meninggalkan anak dan istri hingga berbulan-bulan lamanya. Sungguh. Semua itu rela ditinggalkan. Ada Apa dengan Kita?

Tak bisa kujelaskan secara gambalang. Tapi, sebelum pertanyaan-pertanyaan di atas coba kujawab, aku ingin mengingatkan tentang karakter masyarakat kita pada umumnya, yang pada galibnya telah kita mafhumi bersama. Tapi ini bukan untuk sok tahu. Cuma untuk menyegarkan ingatan kita bahwa telah menjadi kultur masyarakat kita bahwa sesuatu terkadang lebih berat dinilai dari sudut pandang penghasilan (income) yang diperoleh seseorang. Jamak kita tahu bahwa keberhasilan lebih dilihat dari seberapa besar seseorang punya sesuatu secara materi. Kasarnya ia punya penghasilan pasti dari pekerjaan yang dilakoni. Apakah pegawai negeri, swasta, anggota DPR, pedagang, tukang parkir, satpam dan sebagainya. Umumnya semua jenis pekerjaan tersebut secara penghasilan punya limit waktu berjangka: harian, mingguan, dwi-mingguan atau bulanan.

Logika bekerja dan mendapat penghasilan seperti ini adalah sangat masuk akal dan tidak ada yang bisa membantahnya. Inilah yang selama berpuluh-puluh tahun telah menjadi semacam ‘nilai’ yang terpola dengan begitu presisinya. Mungkin salah, bisa juga benar, itulah pendapatku. Toh semua itu dikembalikan kepada pribadi masing-masing.

Lalu, adakah hubungannya pendapat di atas dengan pekerjaan yang kami lakukan? Ada saja. Karena tak sedikit dari kami (angggota Delta Qualstone Grup), yang karena keterlibatan dan konsekuensi yang harus diterima seringkali dianggap individu yang tidak punya pertimbangan, tidak perhitungan, egois, bahkan tak sedikit yang dianggap sudah gila. Walah! Lagi-lagi pendapat seperti ini kuanggap wajar. Mungkin karena mereka belum sepenuhnya memahami. Atau mungkin mereka melihat dari kacamata pekerja kebanyakan, yang bekerja langsung dapat uang.

Benar bahwa hidup memang harus dihadapkan pada persoalan keseharian seperti makan, kontrakan, listrik, air, punya rumah sendiri, kondangan, pendidikan atau pergi berlibur kemana kek: Taman Safari, Gunung Leuser atau ke Ujung Kulon. Tak melulu soal akan seperti apa hidup kita lima atau sepuluh tahun ke depan, meski hanya sedikit yang berpikir jauh seperti ini. Boro-boro mau memikirkan kapan kira-kira utang Negara ini bisa dilunasi? Serta apa yang bisa dilakukan untuk memberikan sesuatu yang berarti bagi kemajuan bangsa dan Negara. Minimal bisa menjadi yang terbaik buat diri sendiri dan keluarga saja, rasanya sudah cukup. Tapi sebentar. Bisakah kita berubah dari apa yang kita pikirkan hari ini? Tentu bisa.

Ada lagi sebuah pendapat yang mengungkapkan fakta berikut ini. Tanpa disadari kebanyakan dari kita, mungkin juga penulis sendiri, masih terobsesi dengan paham ‘pekerja-isme’ warisan kaum penjajah. Mental pekerja memang lebih baik dari mental pemalas. Tapi mungkin pesannya bukan itu. Sepatutnya kita memang harus berkaca dari Negara yang sudah lebih maju dari kita. Kita patut prihatin dengan para pemimpin kita yang tak pernah beres membawa bangsa ini menjadi lebih baik. Hasil yang paling terlihat dari pemimpin kita setelah maupun ketika masih menjabat adalah menggelembungnya pundi-pundi kekayaan. Bukan kesuksesan mereka membawa amanah yang dipikul. Bayangkan, era reformasi yang sebentar lagi akan memasuki usia 10 tahun, belum juga mampu mengikis budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita, dan terutama para pemimpin kita masih larut dalam eufhoria mencari kestabilan diri, pribadi dan keluarga sendiri. Parahnya, kebobrokan mental pemimpin, diperparah dengan rendahnya kesadaran yang dipimpin untuk bangkit dan maju tanpa harus menunggu berkah para pemimpin (pemerintah). Begitulah kondisinya. Memang sedikit yang mau bersusah, dan meyakini sesuatu meski harus dimulai dari kondisi nol dan tanpa arti apa-apa. Entah, mungkin karena hanya sedikit yang berjiwa pelopor dan pendobrak pakem. Makanya, kata orang-orang pintar, bangsa ini sulit untuk maju bukan karena kemiskinan sumberdaya alamnya, tetapi lebih kepada miskinnya sumber daya manusianya. Coba, logika manakah dipakai saat kita menjual bahan baku seperti kulit, karet, tembaga, besi, timah dan sebagainya, yang kita ekspor ke luar negeri, justru yang kembali ke kita adalah barang-barang siap pakai dari negara-negara yang membeli hasil bumi kita. Ironis kan? Sumberdaya melimpah, tapi tidak diimbangi dengan daya saing di bidang sumberdaya manusianya.

Sekedar membongkar kembali kesuksesan perjalanan orang-orang hebat, bolehlah kita mengulik kisah-kisah tentang kesuksesan anak masnusia di muka bumi ini. Bukankah, kisah-kisah orang besar selalu dipenuhi berbagai romantisme, kontradiksi, intervensi, resistensi, yang semuanya menjadi pengiring setia berabad-abad lamanya. Bagi yang tak kuat tentu akan tersingkir dan ditelan masa. Bagi yang memiliki keyakinan dan ketekunan hebat akan memetik buah yang dicita-citakan. Bahkan sejarah akan mengenangnya dengan tinta emas. Kisah kerasulan Nabi Muhammad SAW yang diiringi kebencian dan penolakan bahkan dari keluarga dan kaumnya sendiri, pun kisah keilmuan Albert Einstein yang dianggap gila oleh masyarakatnya, atau kisah sukses raksasa bisnis software dunia Bill Gates, yang menjadi milyuner di usia yang belum 30 tahun. Toh semua itu tidak selalu melewati jalan-jalan mulus. Selalu dipenuhi liku, dibanjiri keringat dan berbagai macam rintangan, bahkan tak sedikit harus dibayar mahal dengan darah dan air mata. Hikmah yang mungkin bisa dipetik adalah spririt juang dan pelajaran ketahanan mental yang luar biasa demi mencapai apa yang telah menjadi keyakinan pribadi.

Kembali mengenai pertanyaan besar di awal pembahasan ini. Apa gerangan yang membuat orang-orang Delta begitu yakin, hingga harus tahan menderita, menghadapi konsekuensi yang sering dianggap tidak logis dan sia-sia? Bagi kami, tentu alasannya tak sekedar dari hitungan mate-matis. Banyak hal yang membuat kami merasa yakin akan teknologi yang kami perjuangkan. Tapi kembali lagi, bila parameternya dari hitungan mate-matis, kami juga tak bisa menampiknya. Toh, terkadang tak selamanya keyakinan tumbuh dan berkembang hanya dari satu aspek alasan.

Meski belum dibakukan secara formil, telah terpikirkan ide untuk membentuk Keluarga Besar Basma (KBB), sebagai wadah kesatuan orang-orang yang telah berjasa dan berandil bagian terhadap pengembangan Teknologi Delta Qualstone. Soal bagaimana teknis pengaturan dan pembagian peran nanti, tentu hanya orang-orang tertentulah yang mempunyai hak untuk mengaturnya. Yang jelas sudah lebih dari 100 orang yang telah melibatkan diri untuk turut membangun cita-cita Teknologi Delta Qualstone.

Dalam konsepnya, KBB direncanakan merupakan pusat kebijakan pengelolaan dan kepemilikan lisensi Teknologi Delta Qualstone atau TDQ. TDQ adalah sebuah temuan teknologi baru di bidang fisik konstruksi ter-mutakhir yang ditemukan oleh putra terbaik bangsa. Teknologi ini dikembangkan secara bisnis dengan sistem lisensi waralaba dengan pasar dunia seperti halnya CFC, KFC, McDonald, Donkin Donuts, bahkan acara televisi paling popular di tahun 2005 seperti Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dan Indonesian Idol dikembangkan dengan sistem serupa. Tentu, jika kita berbicara income sebuah Negara asal pemilik lisensi yang baru segelintir disebutkan itu, bayangkan berapa juta dolar uang Negara miskin seperti Indonesia, yang seharusnya digunakan untuk pembangunan mengalir bak air bah ke Negara-negara asal lisensi yang dibeli tersebut.

Tapi kita patut bersyukur, di tengah keringnya kreatifitas di bidang keilmuan, kini di negeri ini telah hadir sebuah temuan teknologi terbaru, yakni Teknologi Delta Qualstone yang mulai memperkenalkan dan menyiapkan bisnis waralaba untuk pengembangan dan pemasaran produk yang memang digali dari kekayaan bumi Indonesia. Bila rata-rata bisnis lisensi bergerak dalam bidang makanan dan entertainmen sudah sedemikian hebatnya, bayangkan betapa dahsyat sebuah bisnis berbasis teknologi yang memang menjadi dasar kebutuhan pokok manusia yaitu tempat tinggal, dikembangkan pula dengan sistem waralaba?

Jadi, saat kubaca kembali proposal penawaran investasi TDQ dengan bunyi kalimat: “Kami berani dan dengan bangga menampilkan produk teknologi andalan Indonesia yang bisa menaikkan harga diri bangsa di mata dunia internasional. Kami punya keyakinan bahwa melalui perwujudan teknologi inilah akan dibangun infrastruktur perekonomian Indonesia. Seluruh mega-proyek pembangunan TDQ mengarahkan visi dan misi ke depannya disesuaikan dan sejalan dengan orientasi dan tujuan pembangunan nasional (going concern concept). KBB-TDQ siap menjadikan Indonesia sebagai pusat distributor lisensi dan franchise produk TDQ untuk pasar global. Dari penjualan sistem lisensi beserta multi flier effect yang ditimbulkan, akan membawa Indonsia mempunyai potensi ekonomi yang tak kalah dengan negara maju di dunia.” Begitulah. Mungkin sedikit banyak ada benarnya.

Keyakinan ini semata bukan gambaran yang penuh mimpi dan mengada-ada. Bagi kami, ini merupakan gambaran yang sangat logis dilihat dari kacamata kebutuhan, keunggulan dan hitungan mate-matisnya. Sebagai ilustrasi dan analisa pasar yang kami lakukan, Indonesia membutuhkan setidaknya 200 juta pcs produk TDQ per-hari untuk pembangunan fisik konstruksi (estimasi dari perhitungan produk sejenis yang konvensional). Bila royalty franchisor (pemilik lisensi) adalah Rp. 300 per-satuan barang (pcs), maka Rp. 300x200 juta pcs = Rp. 60 milyar per-hari atau Rp. 1,56 trilyun per-bulan. Bagaimana kalau kita bicara dunia? Dari perhitungan kami, pasar dunia membutuhkan sedikitnya 5 milyar pcs produk TDQ per hari. Bila royalty fee untuk tingkat dunia adalah Rp. 1000 per pcs, maka 5 milyar x Rp. 1000 = Rp 5 trilyun per hari atau Rp. 130 trilyun pe rbulan. Kemana uang sebanyak itu mengalir? Kepada siapa lagi kalau bukan kepada franchisor. Dan tentu saja income sebesar ini akan menjadi sumbangan devisa terbear bagi negara di sektor pajak. “Dengan income sebesar itu
Indonesia bisa terbebas dari belitan utang yang mencapai Rp. 1000 trilyun, dalam waktu yang tidak terlalu lama,” begitulah kira-kira.

Logika yang agak sulit dimengerti kan? Memang semua itu sebatas di atas kertas. Lebih jauhnya, tentu harus ada riset yang lebih mendalam dan pembuktian pasar yang lebih konkret. Tapi minimal, atau setidaknya, itu yang menjadi dasar pemikiran teknologi ini. Itulah yang menjadi roh dan spirit yang tetap hidup (survive) dalam setiap jiwa mereka yang terlibat di teknologi ini. Sebuah pencapaian maksimal yang masih harus terus diperjuangkan. Yup, meski untuk itu harus melewati berbagai persoalan dan pendakian yang terjal dan beresiko tidak kecil.

Time flies like an narrow

Akan datang suatu masa ketika kegembiraan menjadi bunga dari keyakinan dan ketekunan pantang menyerah. Akan datang. Lihatlah matahari yang terbit di ufuk timur. Selalu memancarkan semangat dan tak pernah lelah “memberi” tanpa mengharapkan “menerima”. Atau lihatlah ketika bulan yang manis dengan cahayanya yang pudar namun kuat. Mereka menantikan kita berubah. Menjadi lebih baik dari hari kemarin. Itu sisi lainnya.

Ada lagi, mungkin, satu pertanyaan besar yang selalu menggelayut di benak kami, dan semuanya yang menanti dan menunggu sekuel ini adalah: kapan cita-cita besar ini bisa terealisasi? Sulit menjawabnya. Secara logika harus tidak pernah lelah bekerja dan berusaha. Tapi satu hal yang selalu kami yakini bahwa kunci dari meledaknya pekerjaan ini adalah launching perdana untuk mengenalkan teknologi ini kepada masyarakat dan kalangan investor. Nah, inilah yang sekarang sedang kami perjuangkan. Melewati segala macam cobaan dan rintangan dengan segala pernak-pernik dan beragam rasa yang ditawarkan. Wuih…

Spirit lainnya yang menjadi penyerta perjalanan ini, selain cita-cita menangajak umat selalu bersyukur kepada Sang Pencipta, adalah berhubungan dengan keunggulan TDQ secara teknik, terutama inspirasi temuan TDQ yang menurut penemunya, merupakan petikan Al-Quran yang menjadi pedoman umat Islam di seluruh jagad raya. Bahwa ada sebuah al-hadist yang berbunyi: “Barang siapa dapat mengungkap misteri tentang batu, maka akan muncul sembilan macam sumber kehidupan mahluk di muka bumi.” Ditambah magnet bangunan konstruksi pertama di dunia yaitu Kaabah di Mekkah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Dan juga inspirasi bangunan-bangunan candi yang banyak terdapat di Nusantara yang hingga kini, beberapa diantaranya masih berdiri kokoh. Itulah semacam mantra dan hikayat suci yang menjadi keyakinan keberadaan teknologi ini. Maski agak sulit dicerna logika, tapi begitulah adanya.

Makanya tak terlalu berlebihan bila diantara kami sering muncul angan-angan di sela-sela obrolan santai hari-hari. Banyak hal. Terutama masa depan. Dan sedikit banyak obrolan-obrolan santai tersebut telah tertuang dalam semacam AD/ART seperti mengenai prilaku, tentang bisnis, pembagian hak, pendirian perumahan keluarga dan sebagainya. Diluar itu, masih dalam obrolan oge, banyak diantara kami yang mempunyai angan-anagn memiliki sesuatu yang berupa materi dan kebendaan. Namun itu bukanlah semata-mata cita-cita utama. Materi hanyalah sedikit dari banyak aspek yang melandasi keterlibatan ini. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana upaya yang kami lakukan dapat sebanyak-banyaknya mendatangkan manfaat bagi orang banyak.

Seperti itulah kiranya, sedikit jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan besar, yang mungkin masih menggelayut di benak banyak orang tentang teknologi ini. Mudahan-mudahan ulasan di atas bisa memberikan sedikit gambaran. Mungkin ini cuma mimpi? Biarlah, toh kata orang-orang besar, kalau kita ingin sesuatu, bermimpilah terlebih dahulu sebelum kita benar-benar menggapai apa yang kita impikan. Tapi bagi kami, hal ini bukan sekedar mimpi, karena kami berangkat dari keyakinan yang kuat. Ibaratnya begini, seorang petani harus menanam bila ingin memanen. Bila ingin mendapatkan hasil yang terbaik maka, maka harus disertai dengan pupuk, ilmu, sedikit kenekatan, kerja keras dan pantang menyerah. Begitu kira-kira.

Oya, sebagai pelengkap catatan ini, ingin kutuliskan pula mengenai gambaran keseharian kami pada minggu-minggu terakhir ini. Makin banyak tantangannya. Lagi-lagi hal yang paling utama adalah persoalan dengan Pak Gandhi, investor kami. Terutama soal rencana-rencana awal seperti yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang jauh dari harapan. Juga soal biaya hidup kami di Leuwiliang yang telah dikurangi. Padahal, untuk ukuran 10 orang, uang yang dikirm Pak Gandhi sangatlah tidak mencukupi. Terpaksa kami, lagi-lagi harus mengencangkan ikat pinggang. Tapi itu tadi, terjadinya rasionalisasi di bidang anggaran, membuat bon di warung bertambah bengkak. Ya ampun. Malahan di minggu-minggu terakhir, bon di warung sudah mencapai nominal yang paling tinggi, selama riwayat ngutang kami di sini, hampir Rp 2 juta!

Tentu saja, kondisi ini menjadikan pekerjaan kami terasa lebih berat, terutama bagi teman kami si Erick yang bertugas mengurusi pasokan kebutuhan sehari-hari. Tentu bukan sesuatu yang ringan untuk meyakinkan orang dalam kondisi yang terus-terusan meminta tenggang waktu. Tapi entah bagaimana pendeketan yang dilakukan teman kami Erick, ia selalu bisa meyakinkan Teh Lis, pemilik warung. Dan lagi-lagi untuk makan hari-hari, kami bisa diselamatkan oleh kebaikan Teh Lis, dan juga kerja keras saudara kami, si Erick. Duh, untung masih ada orang baik seperti Teh Lis yah? Kalau tidak, entah bagaimana nasib kami di Leuwliang.

Tapi pernah juga terjadi semacam ungkapan kekesalan Teh Lis. Ini wajar saja karena uang yang seharusnya bisa diputar untuk modal tertahan oleh utang yang belum kami bayar selama lebih dua minggu ini. Bukannya tidak mau membayar, karena memang kondisi kami yang tidak memungkinkan. Pernah ada satu hari si Erick tidak pergi ke warung seperti biasanya. Mana uang di saku sudah tidak tersisa. Memaksa hari itu kami memasrahkan diri dengan keadaan. Tidak ngopi pagi-pagi seperti biasanya, apalagi untuk sekedar sarapan ecek-ecek. Sempat kami berpikir, hari itu kami tidak akan menyentuh nasi. Namun Tuhan rupanya mendengar rintihan kami. Tak disangka, datang kiriman makanan dari tetangga di seberang rumah. Itu loh rumahnya bapaknya Aie, pacar salah satu teman kami yang bernama Julis alias Jo. Alhamdulillah….

Ada lagi kisah yang menyangkut pemakaian listrik. Masalahnya kami belum membayar rekening listrik selama empat bulan. Ini terjadi beberapa hari yang lewat sebelum catatan ini usai kutulis. Petugas PLN datang untuk memberitahukan masalah tunggakan yang belum dibayar, bahkan berniat akan mencabut listrik di rumah hari itu juga. Ada-ada saja jalan yang ditunjukkan oleh Yang Kuasa. Tiba-tiba Pak Haji Edi, pemilik rumah yang kami kontrak, bertamu ke rumah. Nah, kebetulan Pah Haji Edi mengenal petugas PLN yang aku lupa namanya itu. Alhamdullillah, berhubung kenal, akhirnya petugas PLN masih memberi tempo selama satu minggu dimuka. Bahkan denda-denda yang mencapai jutaan rupiah yang seharusnya kami bayar, bisa dielemimir dengan batuan Pak Haji Edi. Mungkin inlah hikmah bila kita baik dengan orang lain. Orang juga akan membalas kebaikan kita dengan faedahnya. Amin.

Banyak lagi kemudahan-kemudahan yang ditunjukkan oleh Tuhan kepada kami. Disamping perkembangan yang terus kami jajagi. Semuanya memberikan kami pelajaran dan hikmah yang luar biasa. Kisah-kisah sepele seperti ini tentu tak hendak kami lupakan begitu saja. Kami yakin Allah mendengar doa dan pinta kami. Benar bagi-Nya yang telah menjanjikan kemudahan di setiap kesulitan-kesulitan. Terima kasih ya Allah, lagi-lagi masalah kami telah Engkau ringankan.

Colling down vs hot news

Tinggal di Leuwiliang sebenarnya aku banyak beroleh inspirasi untuk kutuangkan dalam bentuk tulisan seperti ini. Salah satunya menulis cerpen yang mengisahkan pergaulan muda-mudi di daerah ini. Judulnya: “Gadis di Pematang Sawah”. Meski belum sempat kutulis. Berangkat dari kisah nyata seorang gadis desa setempat yang lugu dan (maaf) agak gelo kepada beberapa orang pemuda pendatang (ahai!). Mungkin karena sering bertemu, si gadis desa akhrinya terperangkan dalam ungkapan Jawa yang sangat terkenal itu: witing tresno jalaran suko kulino alias jatuh cinta karena seringnya bertemu, alias cinlok gitu loh…

Benar ini merupakan kisah nyata yang benar-benar nyata. Kalau kuperhatikan sih, si gadis lugu ini sebetulnya periang, gemar tertawa, tapi dari sisi gaya busana dia menganut gaya era tahun 70-an alias gaya konservatif-tradisional. Padahal usianya belum 20 tahun. Tapi yang kami salut, dia itu punya kepercayaan diri yang sangat besar. Saking tingginya malah terlalu over. Begitu, meski sering membuat kesal, tapi tak bisa dipungkiri si Dia yang pede abis ini telah memberikan cerita yang sulit kami lupakan di pengembaraan kami di sini.

Tak perlu kusebutkan namanya, takut nanti banyak yang geer dan ‘merasa’. Teman kami si Manto menyebutnya dengan panggilan si Radiator. Hahaha mungkin karena orangnya terlalu hiperaktif dan sering berputar ke sana ke mari layaknya mesin radiator kali hehe… Dia tinggal di kampung tetangga kami. Kami memang sering berinteraksi dengan pemuda-pemudi kampung tetangga yang kebetulan masih terhitung teman si Radiator juga, seperti Shanti, Yuli dan lain-lain. Singkat cerita, mungkin karena sudah bosan nge-jombloh, si Radiator naksir berat kepada beberapa teman kami di sini (karena menyangkut privasi dan dilindungi undang-undnag tak perlu kusebutkan namanya hehe). Meski harus menelan pil pahit cintanya bertepuk sebelah tangan, ternyata si Radiator bukanlah tipe wanita kebanyakan yang gampang menyerah mengejar lelaki.

Tak disangka, entah bagaimana ceritanya, ternyata aku juga merupakan sasaran terakhir dari si pengejar cinta, Radiator. Aku juga ditaksir olehnya? Padahal sudah menjadi style-nya bila ia naksir dengan seseorang maka tak pelak akan diproklamirkan layaknya sebuah kabar gembira ria. Seolah semuanya telah menjadi miliknya (hehe…abang!) Tak ayal, berita ini segera menjadi topik hangat, mengalahkan persoalan bon di warung dan odol yang sudah tiga hari ini habis. Dan tentu saja, si Radiator sangat berperan dalam memainkan isu ini. Layaknya seorang kepala desa yang mencari dukungan, ia pun tak kalah sibuk bercerita kesana kemari. Dan, semua tertawa gembira. Haha…

Sebetulnya, tak ada masalah dengan tingkah si Radiator yang agak norak itu. Malahan kami menganggapnya sebuah relaksasi. Namun yang membuat kami tak habis pikir adalah tingkahnya di pematang sawah beberapa waktu yang lalu. Si Radiator cs memang sering bermain di pamatang sawah di dekat rumah kami. Tak ada angin tak ada hujan, mungkin dia menganggap dirinya si seksi Rani Mukherje, hari itu, di tengah matahari jam 12 siang, dia tiba-tiba menari-nari layaknya sang bintang di film-film Bollywood saja.

Pada mulanya kami mendapat hiburan gratis di siang bolong. Tapi sebentar. Ya ampun, semua kami yang melihat show tunggalnya hari itu tiba-tiba terlongong-longong. Si Rani Mukherje bajakan yang masih saja menari-nari itu tiba-tiba melepaskan bajunya! Hingga hanya tinggal pakaian dalamnya saja yang tersisa! Masyalah. Wah-wah, aku yang tak menyaksikan langsung saja bisa membayangkan betapa serunya kejadian itu. Begitulah kiranya kisah yang norak ini. Mohon jangan terlalu dianggap serius. Ini cuma romantika yang menjadi pengiring di tengah kegalauan akan keseharian kami yang sempat kering. Lumayan.

Di sela-sela mengisi waktu luang, kami juga menikmati semacam mainan tradisi tahunan di daerah ini. Namanya kolecer. Terbuat dari bambu yang diraut pipih menyerupai kipas angin dengan dua mata sisi. Kalau di Jepang mungkin disebut “baling-baling bambu”. Ukurannya bermacam-macam. Dari yang kecil berukuran panjang 20 cm hingga yang berukuran 2,5 meter bahkan ada yang lebih. Kolecer ini diberi tiang penyangga dan ditegakkan di ketinggian, semacam di atas pohon. Nah ketika angin berhembus kencang, maka kolecer akan berputar sehingga menimbulkan suara yang melengking dan terkadang berirama. Bila angin yang datang tidak beraturan, maka akan terdengar bunyi seperti suara helikopter. Hampir tiap rumah di sini terdapat mainan tradisional seperti ini. Jadi bisa dibayangkan suara yang ditimbulkan dari putaran baling-baling bambu yang berputar serentak dari tiap-tiap rumah. Sungguh suatu hal yang membangkitkan imajinasi tertentu bagi yang mendengarnya. Namun terasa begitu asing bagi yang baru kali itu mendengarnya. Itulah kolecer. Biasanya mainan tradisi ini muncul tiap tahun di bulan-bulan dengan keadaan angin yang berhembus cukup kencang diantara bulan Desember hingga April.

Tak mau kalah dengan penduduk setempat, para Bujang Belantan juga ikut larut dengan permainan tradisi ini. Kami juga membuat kolecer berbagai ukuran dan dari berbagai bahan: mulai dari bambu, plastik bekas, kaleng, sampai pelepah dauh pohon kelapa dan palem yang tumbuh di dekat tempat tinggal kami. Sedikit berbeda, salah satu kolecer yang kami buat kami kreasikan dengan bebunyian kaleng bekas yang diletakkan dekat baling-baling. Kaleng ini diberi semacam tuas dari bambu yang apabila kolecer berputar secara otomatis akan menyentuh tuas yang akan menghasilkan bebunyian dari kaleng tadi. Nah, karena suaranya yang agak beda, kolecer kami yang satu ini banyak mengundang daya tarik para tetangga. Terutama ibu-ibu dan anak-anak. Mungkin mereka menganggap aneh? Kok ada ya kolecer bunyinya garing seperti bunyi kaleng diisi batu? Heheh..itu salah satu cara kami mengisi hari-hari dengan kegiatan santai.

Begitulah. Dalam hidup terkadang akan kita jumpai suatu kebiasaan yang unik. Nah bagaimana kita mengemas sesuatu yang unik menjadi sedikit berbeda, bergantung dengan kreasi yangh kita miliki. Yang terpenting harus pintar-pintar menciptakan suasana yang asik dan menyegarkan. Meski di tengah kondisi yang sangat memprihatinkan sekalipun. Ingat, tak selamanya perjuangan dinilai baik dan realistis.

Ada saja anggapan yang kurang simpatik dan bernada menyepelekan. Begitulah kira-kira sejarah kesuksesan mencatat. Kuncinya harus ber-positive thinking. Anggap semua itu sebagai cambuk yang memacu kreasi kita untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Begitu lebih bijak dan berbobot kiranya. Yakinlah bahwa roda kehidupan selalu berputar. Ibarat kolecer. Kadang diatas, kadang dibawah.

Duh kolecerku…