Jumat, 05 Oktober 2007

Superman Never Die

Ingin Jadi Superhero? Gampang!

Ingin jadi seorang superhero yang sebenarnya? Gampang. Ga perlu jauh-jauh dan mahal. Di Indonesia ada seorang ibu-ibu tua yang bisa melahirkan superhero-superhero yang sesungguhnya. Siapakah dia?

Pada saat membuat karikatur Superman, sambil tertawa-tawa sendiri karena lucu sendiri, aku terkenang saat masih kecil dahulu. Waktu itu, aku termasuk penggemar berat serial tivi Superman loh. Hampir tidak pernah kulewatkan serial yang satu ini. Dalam benakku, terkagum-kagum betapa hebat dan gagahnya sosok Superman itu.

Bertahun-tahun setelah itu, tokoh rekaan dari DC Comics karya seniman Kanada, Joe Shuster dan penulis AS Jerry Siegel pada tahun 1932 itu, tetap hidup dan melegenda hingga sekarang. Mengiringi kesuksesan The Man of Steel, kini bermunculan pula tokoh-tokoh yang nggak kalah oke lainnya seperti Batman, Spiderman, Catwomen, Wonderwomen dll.

So and the so, kapan yah tokoh-tokoh superhero kita seperti Lutung Kasarung, Gatot Kaca, Si Buta dari Goa Hantu, Jaka Sembung, Jaka Tarub, Samson Betawi, Suparman, Suparmin, truz ada Mak Lampir, Mak Erot, Nyi Blorong… Eh, emak-emak dan nyi-nyi masuk nggak yah superhero made in Indonesia?

Hmm…sepertinya kalau Mak Lampir dan Nyi Blorong patut dipertanyakan kredibilitasnya. Tapi kalau Mak Erot? Wah, cocok sekali menyandang julukan superhero yang sebenarnya. Lah kok bisa? Ya iyalah, karena dia bisa membantu ribuan lelaki menjadi ‘superhero’ yang tadinya superloyo. :-D

Jadi, ketimbang mengagumi tokoh rekaan asal luar, rasanya lebih bermakna kalau kita mengagumi superhero kita sendiri seperti Mak Erot itu. ;-P

Duh Infotainmen

Infotainmen Cermin Wajah Bangsa-kah?

Sedikit catatan dari orang yang pernah merasakan bekerja sebagai pewarta infotainmen. Sekedar curahan pendapat, bukan untuk mengecilkan arti sebuah upaya. Tak ada masalah, masalahnya justru terletak pada masalah itu sendiri. Bingung kan? "Bo, ini kan infotainmen…"

Bekerja di dunia infotainmen membuatku banyak belajar dan belajar banyak. Lebih satu setengah tahun (Agustus - Nopember 2005 dan dilanjutkan Mei 2006 - Juli 2007) aku merasakan pengalaman cukup mengesankan selama bekerja sebagai reporter di sebuah production house (PH) yang memproduksi tayangan Lens-JakTV, Kroscek-TransTV dan situs Krosceknews.com. Keseharian pekerjaanku tak jauh-jauh dari dunia keartisan yang, jujur saja, banyaklah menyimpan kepalsuan (geto lohh).

Kepalsuan yang kumaksud berkenaan dengan pola kehidupan artis--tapi tidak semuanya juga loh--yang serba glamour dan cenderung tidak memiliki empati pada keseharian rakyat kita yang serba susah, juga dipenuhi retorika yang, meminjam istilah Tukul "Katro" Arwana-narsis tralala, dengan statemen-statemen yang (lagi-lagi kebanyakan loh)-dangkal dan tidak penting amat gitu loh.

Bo, namanya juga infotainmen? :-P

Terkadang lagi, materi pertanyaan cenderung menjungkirbalikkan logika keilmuan seorang reporter (oya, rata-rata pewarta infotainmen pendidikannya Strata Satu loh). Bayangkan kita bertanya tentang hal yang tidak sebanding dengan kompetensi seperti: “Berapa kali Anda pacaran”, “Berapa kali Anda diputusin”, “Anda sekarang lagi jalan ama siapa”, “Mengapa Anda bercerai”, “Kapan kamu menstruasi pertama kali”, “Mengapa kamu senang anjing” blablabla… Ya ampun, sungguh, anak kecil pun kalau cuma seperti itu bisa juga dong.

Tapi memang, tak bisa dipungkiri predikat artis, menurutku, adalah sebuah kapital. Beruntunglah bagi mereka yang berpredikat sebagai artis. Mereka adalah ‘barang dagangan’ yang super-ekslusif, mahal dan bisa menaikkan promosi suatu produk. Tak salah bila untuk menjadi seorang artis atau selebritis, orang bisa mengorbankan segalanya. Tak terkecuali kehormatan dan rasa malu (masa sih?).

Jurnalisme infotainmen sendiri, yang kabarnya menjadi anak tiri PWI, rupanya tanggap dengan fenomena ini. Sejak kebangkitan era televisi swasta tahun 1996, infotainmen bermunculan bak jamur di musim hujan di hampir setiap televisi swasta. Bayangkan, setidaknya kita punya 12 stasiun televisi swasta. Bila rata-rata setiap televisi memiliki 4 acara infotainmen, berarti ada 48 infotainmen di Indonesia. “Jangan salah, ini menyumbang lapangan pekerjaan yang tidak kecil,” kata seorang saudagar pemilik infotainmen mencoba menakar dampak positifnya, saat heboh kontroversi tayangan infotainmen belum lama ini.

Terlepas itu, masyarakat memang mengapresiasi dengan baik beragam acara infotainmen itu. Terbukti--meski pernah difatwakan haram oleh NU untuk pemberitaan yang mempergunjingkan terlalu dalam rumah tangga orang lain--infotainmen tidak pernah surut dari masa ke masa. Bahkan bisa menandingi rating program acara berita di televisi. Sudah pasti, media yang banyak peminatnya mendatangkan fulus berupa pemasangan iklan. Buah karya para jurnalis infotainmen, diganjar dengan omzet miliaran rupiah. Tapi bukan milik para pekerja loh.

Jurnalisme infotainmen tergolong baru. Hal ini muncul justru disebabkan efek ikutan dari apa yang disukai massa. Bicara massa, dalam perspektif dunia pemasaran, adalah uang. Fakta ini tak terbantahkan. Uniknya, infotainmen tidak mementingkan apa inti pembicaraan. Pembicaraan yang terkesan dungu sekali pun bukanlah sebuah masalah. Tak penting apa yang mereka katakan, tetapi siapa yang mengatakan apa. Ujung-ujungnya tak jelas, siapa yang melayani siapa dan untuk apa (sebenarnya).

Bo, ini kan infotainmen…?

Nyambungnya lagi, artis mengapresiasi infotainmen dengan sukacita. Bahkan ada--sebagian loh--yang mencari-cari masalah untuk digosipkan supaya menjadi bahan perbincangan. Catet, ini tak berlaku bagi artis yang terkenal atau pun tidak. Sama saja. Sedikit kepalsuan untuk menaikkan nilai jual tak apalah, meski kehidupan pribadi dikunyah-kunyah oleh khalayak. Promosi gratis untuk menaikkan pamor geto lohh…

Simbiosis mutualisme pun melanggengkan hubungan ini. Tapi benarkah itu menguntungkan artis dan pekerja infotainmen? Kalau dipikir, sebenarnya, bukan keuntungan pekerjanya, melainkan para saudagar-saudagar pemilik infotainmen dan televisi itu loh. Tidak sama sekali masyarakat. Tidak sama sekali selain waktu yang terbunuh secara manis dengan menikmati tingkah pola para artis yang dibungkus dalam balutan karya jurnalistik. Mereka menyebutnya “hiburan”. Tapi benarkah?

****
Jujur kacang ijo, sudah lama aku ingin hengkang dari dunia yang satu itu. Namun karena keadaan dan belum ada pekerjaan yang benar-benar cocok, akhirnya aku tetap bertahan dengan hati yang setengah terpaksa (kesian yah?). Betapa perihnya digosipin, tapi tahukah Anda, betapa perih juga jadi tukang gosip hehe…

Bo, namanya juga infotainmen.

Pada prinsipnya, bukan cara mencari beritanya yang aku tidak suka. Untuk bahan pembelajaran mengasah kemampuan jurnalistik, sebenarnya bekerja di dunia infotainmen tidak ada yang salah, bahkan cenderung dianjurkan. Teknik-teknik pelaporan yang diterapkan tak berbeda jauh dengan news-broadcasting dan media cetak populer. Bahkan tak hanya mengandalkan pakem jurnalistik 5W+1H, tetapi juga seni mengemas berita menjadi investigative reporting, narrative reporting dengan sentuhan sastra yang memukau (kata lain dari puitis) hehe….

Yup, terlepas dari ketidaknyaman bekerja di dunia infotainmen--terutama yang dimiliki PH--semisal soal pembagian ranah waktu yang terlalu ekstrem, dan juga sistem bekerja yang belum ada keberpihakan kepada kelas pekerja, infotainmen--lagi-lagi bukan cara mencari beritanya--sungguhlah sebuah pekerjaan yang apa yah? Buah simalakama? Entahlah...

Bo,,,

Udah ah! Bo, bo, mulu emang kebo ;-P? Salam takzim.

Jembatan Selat Sunda


Proyek Prestisius itu Bernama Jembatan Selat Sunda

Rabu, 4 Oktober 2007, Pemda Lampung dan Pemda Banten, bersama rekanan mereka dari Artha Graha Network, menandatangani nota perjanjian pelaksanaan prastudi kelayakan pembangunan jembatan Selat Sunda sepanjang 29 kilometer yang diperkirakan menelan dana Rp. 100 trilyun.

Model konstruksi jembatan yang akan menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera itu kemungkinan besar adalah tipe suspensi. Seperti diketahui, salah satu kendala pembangunan di tengah laut adalah adanya palung laut sedalam 200 meter dengan panjang 2,5 kilometer.

Rencananya di atas jembatan juga akan dibangun jalur kereta api Trans-Jawa-Sumatera. Studi kelayakan akan dilakukan selama 2 tahun. Apabila dinyatakan layak, baru pada tahun 2012 pembangunan jembatan Selat Sunda bisa dimulai.

Selain dapat menimbulkan multi-flier effect dari sisi ekonomi dan budaya bangsa, pembangunan jembatan ini tentu akan meningkatkan kebanggan (pride) kita sebagai bangsa. Namun yang menjadi pertanyaan, dari manakah sumber dana pembangunan jembatan tersebut? Serta yang tak kalah penting teknologi manakah yang akan dipakai nantinya?

Apakah, lagi-lagi, harus mengandalkan teknologi dan sumberdaya manusia dari luar? Padahal, di negeri ini, telah ditemukan sebuah teknologi baru karya anak bangsa yang bisa mengatasi problematika dunia pembangunan (fisik konstruksi) seperti persoalan kecepatan, kekuatan, termasuk persoalan gempa dan pembangunan dasar laut yang mengandung tingkat kerumitan luar biasa.

Wahai petinggi negeri, teknologi itu adalah “Teknologi Delta Qualstone” karya anak bangsa sendiri.