Kamis, 04 Oktober 2007

Cerpen "Tragedi di Sungai Musi"


Tragedi di Sungai Musi
Sebuah Cerita Pendek

Sinaps: Kisah seorang gadis desa bernama Marni yang hidup di pinggiran Sungai Musi, sungai besar yang membelah Kota Palembang. Kisah yang berakhir tragis di antara hening Sungai Musi dan gemuruh sebuah pesta rakyat: organ tunggal!

****

WANITA itu, Marni namanya, mengelus-elus rambutnya yang panjang sampai menjela bahu. Matanya yang bulat memandang keindahan Sungai Musi yang masih ditutupi kabut tipis. Pagi itu, entah pagi yang ke berapa, Marni kembali melakukan aktivitasnya.

Sepagi itu, Marni terbiasa melakukan kebiasaannya. Bangun subuh-subuh sekali untuk membantu ibunya membuat jajanan warung, mencuci, lalu mandi di sungai yang membelah Kota Palembang.

Marni membetulkan letak kain mandi yang membelit tubuhnya. Hati-hati dituntunnya kaki menuju rakit. Selesai mandi ia harus segera mengantarkan kue-kue yang dibuat ibunya, sebelum anak-anak berangkat sekolah. Dan sepagi itu, Marni hanya sendiri.

Meski dinginnya Sungai Musi bagai mencucuk tulang, bukan hambatan baginya untuk menceburkan diri ke dalam sungai. Rasa segar setelah mandi sangat terasa manfaatnya. Dari bibirnya yang mungil terdengar senandung kecil. Hitung-hitung menghibur diri dari sergapan dinginnya Sungai Musi.

Marni merasa apa yang dirasakannya merupakan rahmat dari Tuhan. Meski cuma tinggal di pinggiran kota, jarang ia dapat bercengkrama secara leluasa dengan alam. Ia pun menyadari kebiasaannya mandi pagi-pagi sekali itu, merupakan pilihan yang tepat. Tepat karena bila saja ia mandi agak siang maka sungai yang jernih itu sudah tidak asli lagi. Tangan-tangan manusia sudah mulai mencemari sungai dengan berbagai limbah dan kotoran.

Ia merasa sedih, sungai yang menjadi salah satu sandaran hidup banyak orang kini telah tercemar dimana-mana. Padahal, sungai itu sendiri dimanfaatkan oleh banyak orang untuk berbagai keperluan seperti mandi dan mencuci. Sungai juga tempat habitat banyak ikan yang bisa dimanfaatkan untuk santap sehari-hari. Tapi kini, sulit menemukan kondisi sungai yang bersih selain sepagi itu.

Marni ingat kata-kata gurunya di SMU dulu. Gurunya mengatakan kebiasaan masyarakat membuang sampah dan kotoran di sungai sulit dihilangkan karena sudah dilakukan sejak dahulu. Semacam sudah menjadi tradisi. Di samping memang karena berbagai faktor seperti kemiskinan dan kurangnya pemahaman masyarakat akan budaya hidup bersih. Toh, meski berbagai macam alasan, Marni tetap tak habis pikir dengan kebiasaan masyarakatnya yang kurang sehat itu.

Satu kali Marni pernah membaca artikel di sebuah koran lokal tentang budaya dan perilaku masyarakat di luar negeri. Sungai-sungai di sana benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kenyamanan warganya. Selain dijadikan air baku untuk air minum, sungai di luar negeri juga dikelola sebagai tempat wisata. Hukum pun benar-benar ditegakkan bagi mereka yang mencemari sungai. Ujung-ujungnya, dengan pengelolaan yang baik tak hanya pemerintahnya yang senang, warga pun merasakan manfaatnya.

Tak mau berlama-lama dengan pikirannya, Marni segera saja menyelesaikan mandinya membasuh tubuh dengan sabun wangi. Tak hanya itu, berendam lama-lama nanti bukannya menyegarkan malah mendatangkan penyakit.

Marni mengangkat tubuhnya yang basah ke atas rakit di pinggir sungai. Agak kaget ia melihat orang yang datang. Orang itu tak lain Zainal, lelaki yang di kampungnya dikenal dengan julukan si hidung belang. Maklum, sudah punya anak isteri tetapi gemar menggoda anak gadis orang. Tiba-tiba perasaan Marni jadi tidak enak. Terlebih dengan sepinya suasana pagi itu.

“Selamat pagi manis,” ujar Zainal, bibirnya menyungging sebuah senyuman nakal.

Marni segera menyadari keadaan dirinya. Kain mandinya yang basah benar-benar seperti mencetak lekuk-lekuk tubuhnya yang molek. Gadis itu tidak ingin keadaanya itu menimbulkan pikiran-pikiran jorok dalam diri lelaki itu.

“Aduh sombongnya. Sendirian saja ya?“ kembali suara si lelaki terdengar, seolah ingin secepatnya minta ditanggapi.

Marni hanya melempar senyum kecut sekedar membalas sapaan orang. Dia lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Entah, ia tiba-tiba merasa risih. Apalagi sambil berlalu tadi masih sempat dilihatnya pandangan liar lelaki itu yang seolah hendak menelannya.
****

Hari demi hari dilewati Marni seperti biasa. Bangun pagi-pagi sekali untuk membantu ibunya, lalu merasakan nikmatnya belaian air sungai yang menyejukkan.

Nun di tempat lain, tanpa disadari si gadis, sepasang mata liar milik Zainal selalu mengawasi gerak-geriknya. Hati lelaki berusia 35 tahun itu rupaya telah tertambat dengan kemolekan tubuh Marni. Timbul pikiran-pikiran jorok dalam diri Zainal.

Kepala Zainal pusing. Dan jawaban dari semua itu adalah Marni.
****

Malam itu bulan sepertinya sedang menunjukkan pesonanya. Marni bukannya tak menyadari itu. Dari tadi ia bersenandung riang di teras rumahnya sembari menikmati bulan yang malam itu begitu sempurna.

Puas menikmati pemandangan malam, Marni lalu masuk ke dalam kamarnya. Ia kini asyik mematut diri di depan cermin. Sendiri.


Marni sering mendengar pujian dari orang lain mengenai dirinya. Mereka bilang ia gadis yang cantik dan rajin membantu orang tua. Jujur saja, Marni bukannya tidak bangga dengan segala macam pujian itu. Hatinya berbunga.

Ia bersyukur atas anugrah yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sebisanya Marni memelihara kecantikannya dengan menjalani hidup bersih dan sehat. Itu saja rahasianya.

Sebagai kembang desa, Marni sering dicap sombong oleh banyak lelaki lantaran menolak cinta ataupun pinangan mereka. Padahal, ia hanya mencoba bersikap jujur kepada para pemuda itu. Ia sudah memiliki tambatan hati. Seorang pemuda baik hati yang kini sedang bekerja di Malaysia. Seorang TKI. Bagaimana mungkin ia mengkhianati cinta kekasihnya?

Dua tahun lalu, sebelum kekasihnya berangkat ke Negeri Jiran, mereka telah berikrar untuk menjaga cinta suci mereka. Sepulangnya nanti, sang kekasih telah berjanji untuk menyunting dirinya sebagai isteri.

“Sepulangnya Abang nanti, Abang janji akan melamar Marni,” begitu janji sang kekasih.

Teringat kata-kata itu Marni jadi tersenyum sendiri. Seketika rindu menyergap dirinya. Kalau sudah begitu, foto sang kekasih di sudut kamar menjadi pelabuhan berbagai rasa yang membuncah hatinya.

Berada dalam suasana rindu berat, membuat Marni terkaget tatkala mendengar ketukan pintu kamarnya. Pasti sahabatnya Tika, pikir Marni. Malam itu, mereka memang sudah janji menonton orgen tunggal di ujung kampung.

Sebenarnya Marni merasa sungkan mengingat acara seperti itu bukanlah acara yang baik untuk gadis seperti mereka. Tapi karena desakan sahabatnya, Marni akhirnya tidak bisa menolak. Apalagi mereka sudah sepakat untuk tidak berlama-lama di sana. Tak apalah, hitung-hitung sebagai hiburan dari pada terus-terusan disiksa rindu pada sang kekasih.
****

Selesai berdandan seadanya, Marni lalu pamit pada orang tuanya. Ibunya wanti-wanti agar ia jangan terlalu larut pulang dari sana. Mereka berangkat dari rumah sekitar pukul 20.30.

Setibanya di sana acara resmi ternyata baru saja dimulai. Marni dan Tika dipersilahkan duduk di kursi undangan yang masih kosong. Di atas panggung, terdengar kata sambutan bernada basa-basi dari ahli rumah. Lelaki yang menyampaikan pidato seadanya itu mengungkapkan acara itu diadakan dalam rangka syukuran atau selamatan salah satu keluarga yang baru saja dilantik sebagai anggota Bintara Polri. Seluruh keluarga malam itu tampak sukacita, termasuk si polisi muda yang duduk paling depan di kursi undangan. Marni mengenal pria muda itu. Seorang sahabat kecilnya yang pernah menyatakan cinta kepadanya.

Setelah acara resmi selesai, acara berlanjut ke acara hiburan. Acara yang paling banyak dinanti. Seorang biduanita membuka acara hiburan dengan nomor-nomor lagu pilihannya. Suara musik dangdut sontak membahana. Seorang lelaki tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan lagak seorang jawara ia menyawer sang biduan yang berpakaian dan bersuara seksi.

Marni mengenal orang yang menyawer si biduan. Ia tak lain si lelaki hidung belang Zainal. Dari atas panggung mata lelaki itu mengerling ke arahnya. Dari tadi rupanya Zainal memperhatikan kehadiran Marni di acara tersebut. Dan Marni bukannya tak memperhatikan hal itu.

Belum pukul sepuluh Marni lalu mengajak Tika pulang. Ia jengah berada di tempat seperti itu. Apalagi dilihatnya orang-orang banyak yang mabuk. Belum lagi pandangan jalang si Zainal. Lengkap alasannya untuk lekas-lekas pulang ke rumah.
****

Dalam perjalanan pulang, Tika tiba-tiba bertemu Tono, pacarnya. Karena rumahnya sudah tidak terlalu jauh, dan lagi Marni tidak mau mengganggu pasangan yang sedang dimabuk asmara itu, ia lalu memutuskan pulang sendiri. Dan, justru di sinilah petaka itu dimulai.

Marni tak menyadari sepasang mata membuntutinya sejak ia dan Tika memutuskan pulang. Mata itu merah. Bau alkohol tercium dari mulutnya yang menyunggingkan seringai. Terlebih saat mengetahui Marni kini sendirian.

Kejadian itu begitu cepat. Ketika melewati pengkolan jalan gang rumahnya yang memang agak gelap, Marni merasakan tangan kekar mendekapnya dari belakang. Dia mau berteriak minta tolong, tetapi mulutnya sudah disumpal orang dengan sapu tangan. Hidungnya mencium bau sesuatu yang begitu menyengat. Entah bau apa, seperti bau obat. Napas gadis malang itu megap-megap. Sejurus kemudian ia sudah tidak sadar lagi apa yang telah terjadi atas dirinya.
****

Lelaki itu menatap mangsanya yang tergolek tak berdaya di semak-semak pinggir sungai. Bibirnya mengumbar seulas seringai kemenangan. Napasnya turun naik dikuasai hawa nafsu dan alkohol. Tanpa tunggu lebih lama si lelaki menggagahi tubuh Marni yang tergolek tak berdaya. Tidak cukup hanya satu kali, gadis malang yang belum lagi sadar dari pingsannya itu diperkosa berulang kali.

Malam itu, di pinggir Sungai Musi yang beriak kecil telah terjadi peristiwa kebiadaban anak manusia. Tak begitu jauh dari sana, penduduk mulai ramai menabuh kentongan tanda terjadi sesuatu yang tidak beres. Yah, sesuatu yang tidak beres malam itu adalah raibnya seorang gadis yang beberapa saat lalu habis menonton acara organ tunggal di kampung itu.

Dan malam itu serasa lebih panjang bagi para penduduk, terutama keluarga si gadis yang tak lain adalah Marni. Mereka sibuk mencari Marni ke sana kemari.

Keesokan harinya, saat sinar matahari mulai menerpa wajahnya, Marni tiba-tiba tersadar dari pingsannya. Yang pertama kali dirasakan gadis itu adalah perih di bagian bawah tubuhnya. Dilihatnya pakaian yang ia kenakan berserakan di mana-mana.

Menyadari apa yang telah menimpa dirinya, Marni menjerit sekuat yang bisa dilakukannya. Beberapa orang penduduk yang mendengar jeritan gadis malang itu tergopoh-gopoh mencari sumber suara.

Mereka menemukan seorang gadis yang sedang menangis di atas perahu yang tertambat di tepian Sungai Musi. Ya Tuhan, gadis itu Marni. Gadis yang tadi malam dikabarkan hilang setelah menyaksikan acara pesta organ tunggal!

Dimuat di Harian Sriwijaya Post Minggu, 19 Januari 2003

Tidak ada komentar: