Jumat, 05 Oktober 2007

Duh Infotainmen

Infotainmen Cermin Wajah Bangsa-kah?

Sedikit catatan dari orang yang pernah merasakan bekerja sebagai pewarta infotainmen. Sekedar curahan pendapat, bukan untuk mengecilkan arti sebuah upaya. Tak ada masalah, masalahnya justru terletak pada masalah itu sendiri. Bingung kan? "Bo, ini kan infotainmen…"

Bekerja di dunia infotainmen membuatku banyak belajar dan belajar banyak. Lebih satu setengah tahun (Agustus - Nopember 2005 dan dilanjutkan Mei 2006 - Juli 2007) aku merasakan pengalaman cukup mengesankan selama bekerja sebagai reporter di sebuah production house (PH) yang memproduksi tayangan Lens-JakTV, Kroscek-TransTV dan situs Krosceknews.com. Keseharian pekerjaanku tak jauh-jauh dari dunia keartisan yang, jujur saja, banyaklah menyimpan kepalsuan (geto lohh).

Kepalsuan yang kumaksud berkenaan dengan pola kehidupan artis--tapi tidak semuanya juga loh--yang serba glamour dan cenderung tidak memiliki empati pada keseharian rakyat kita yang serba susah, juga dipenuhi retorika yang, meminjam istilah Tukul "Katro" Arwana-narsis tralala, dengan statemen-statemen yang (lagi-lagi kebanyakan loh)-dangkal dan tidak penting amat gitu loh.

Bo, namanya juga infotainmen? :-P

Terkadang lagi, materi pertanyaan cenderung menjungkirbalikkan logika keilmuan seorang reporter (oya, rata-rata pewarta infotainmen pendidikannya Strata Satu loh). Bayangkan kita bertanya tentang hal yang tidak sebanding dengan kompetensi seperti: “Berapa kali Anda pacaran”, “Berapa kali Anda diputusin”, “Anda sekarang lagi jalan ama siapa”, “Mengapa Anda bercerai”, “Kapan kamu menstruasi pertama kali”, “Mengapa kamu senang anjing” blablabla… Ya ampun, sungguh, anak kecil pun kalau cuma seperti itu bisa juga dong.

Tapi memang, tak bisa dipungkiri predikat artis, menurutku, adalah sebuah kapital. Beruntunglah bagi mereka yang berpredikat sebagai artis. Mereka adalah ‘barang dagangan’ yang super-ekslusif, mahal dan bisa menaikkan promosi suatu produk. Tak salah bila untuk menjadi seorang artis atau selebritis, orang bisa mengorbankan segalanya. Tak terkecuali kehormatan dan rasa malu (masa sih?).

Jurnalisme infotainmen sendiri, yang kabarnya menjadi anak tiri PWI, rupanya tanggap dengan fenomena ini. Sejak kebangkitan era televisi swasta tahun 1996, infotainmen bermunculan bak jamur di musim hujan di hampir setiap televisi swasta. Bayangkan, setidaknya kita punya 12 stasiun televisi swasta. Bila rata-rata setiap televisi memiliki 4 acara infotainmen, berarti ada 48 infotainmen di Indonesia. “Jangan salah, ini menyumbang lapangan pekerjaan yang tidak kecil,” kata seorang saudagar pemilik infotainmen mencoba menakar dampak positifnya, saat heboh kontroversi tayangan infotainmen belum lama ini.

Terlepas itu, masyarakat memang mengapresiasi dengan baik beragam acara infotainmen itu. Terbukti--meski pernah difatwakan haram oleh NU untuk pemberitaan yang mempergunjingkan terlalu dalam rumah tangga orang lain--infotainmen tidak pernah surut dari masa ke masa. Bahkan bisa menandingi rating program acara berita di televisi. Sudah pasti, media yang banyak peminatnya mendatangkan fulus berupa pemasangan iklan. Buah karya para jurnalis infotainmen, diganjar dengan omzet miliaran rupiah. Tapi bukan milik para pekerja loh.

Jurnalisme infotainmen tergolong baru. Hal ini muncul justru disebabkan efek ikutan dari apa yang disukai massa. Bicara massa, dalam perspektif dunia pemasaran, adalah uang. Fakta ini tak terbantahkan. Uniknya, infotainmen tidak mementingkan apa inti pembicaraan. Pembicaraan yang terkesan dungu sekali pun bukanlah sebuah masalah. Tak penting apa yang mereka katakan, tetapi siapa yang mengatakan apa. Ujung-ujungnya tak jelas, siapa yang melayani siapa dan untuk apa (sebenarnya).

Bo, ini kan infotainmen…?

Nyambungnya lagi, artis mengapresiasi infotainmen dengan sukacita. Bahkan ada--sebagian loh--yang mencari-cari masalah untuk digosipkan supaya menjadi bahan perbincangan. Catet, ini tak berlaku bagi artis yang terkenal atau pun tidak. Sama saja. Sedikit kepalsuan untuk menaikkan nilai jual tak apalah, meski kehidupan pribadi dikunyah-kunyah oleh khalayak. Promosi gratis untuk menaikkan pamor geto lohh…

Simbiosis mutualisme pun melanggengkan hubungan ini. Tapi benarkah itu menguntungkan artis dan pekerja infotainmen? Kalau dipikir, sebenarnya, bukan keuntungan pekerjanya, melainkan para saudagar-saudagar pemilik infotainmen dan televisi itu loh. Tidak sama sekali masyarakat. Tidak sama sekali selain waktu yang terbunuh secara manis dengan menikmati tingkah pola para artis yang dibungkus dalam balutan karya jurnalistik. Mereka menyebutnya “hiburan”. Tapi benarkah?

****
Jujur kacang ijo, sudah lama aku ingin hengkang dari dunia yang satu itu. Namun karena keadaan dan belum ada pekerjaan yang benar-benar cocok, akhirnya aku tetap bertahan dengan hati yang setengah terpaksa (kesian yah?). Betapa perihnya digosipin, tapi tahukah Anda, betapa perih juga jadi tukang gosip hehe…

Bo, namanya juga infotainmen.

Pada prinsipnya, bukan cara mencari beritanya yang aku tidak suka. Untuk bahan pembelajaran mengasah kemampuan jurnalistik, sebenarnya bekerja di dunia infotainmen tidak ada yang salah, bahkan cenderung dianjurkan. Teknik-teknik pelaporan yang diterapkan tak berbeda jauh dengan news-broadcasting dan media cetak populer. Bahkan tak hanya mengandalkan pakem jurnalistik 5W+1H, tetapi juga seni mengemas berita menjadi investigative reporting, narrative reporting dengan sentuhan sastra yang memukau (kata lain dari puitis) hehe….

Yup, terlepas dari ketidaknyaman bekerja di dunia infotainmen--terutama yang dimiliki PH--semisal soal pembagian ranah waktu yang terlalu ekstrem, dan juga sistem bekerja yang belum ada keberpihakan kepada kelas pekerja, infotainmen--lagi-lagi bukan cara mencari beritanya--sungguhlah sebuah pekerjaan yang apa yah? Buah simalakama? Entahlah...

Bo,,,

Udah ah! Bo, bo, mulu emang kebo ;-P? Salam takzim.

Tidak ada komentar: