Senin, 17 Maret 2008

Film Ayat Ayat Cinta


Si Ucok pun Tak Tahan untuk Tidak Menangis

Pada saat ke Bogor seminggu sebelumnya, saya janjian ketemu seseorang di Bogor Trade Mall untuk nonton Ayat Ayat Cinta (AAC). Namun sayang tiket pada jam pertunjukan yang kami inginkan telah habis terjual sehingga hari itu kami urung nonton.

Sabtu pagi tanggal 15 Maret 2008. Saya dan sohib baru saya, Mifta Pohan alias si Ucok, bertemu seorang sahabat yang saya kenal ketika saya masih bekerja di dunia infotainment. Sahabat saya ini, seorang reporter, bernama Barata. Kami menemuinya untuk sebuah urusan di kantornya, Indigo, di daerah Cilandak, Jakarta Selatan.

Sehabis bertamu ke Kantor Indigo, rupanya si Ucok (yang juga merupakan adik kandung artis Annisa Pohan itu), benar-benar menepati janjinya mengajak saya nonton AAC yang diangkat dari novel fenomenal berjudul sama karya Ust. Habiburrahman El Shirazy. Setelah menimbang-nimbang, si Ucok memutuskan mengarahkan kemudinya ke Pondok Indah Mall (PIM) 1. Sebagai orang yang diajak, saya mah nurut aja ateuh

Singkat kata, sehabis makan di salah satu restoran PIM 1, kami nonton AAC pada jam pertunjukan 14.00 WIB. Luar biasa, setelah sekitar dua minggu diputar serentak di seluruh bioskop Indonesia jaringan 21, penonton AAC tetap saja berjubel! Untung kami sudah pesan tiket satu jam sebelum pertunjukan dimulai, sehingga kami tidak perlu bersusah payah antri seperti yang lain. Hmm

Oya, setelah sebelumnya tuntas membaca novel AAC, saya memang kurang begitu yakin versi layar lebarnya akan sebagus novelnya. Dari kacamata seorang yang awam di dunia perfilman, saya memiliki beberapa catatan khusus soal film ini. Mudah-mudahan bisa menjadi masukan bagi pihak yang terkait (produser, penulis skenario, sutradara dll.) yang kabarnya juga bakal mengulang kesuksesan film AAC dengan mengangkat cerita dari novel-novel karya Kang Abik lainnya.

Pertama, menurut saya, film berdurasi sekitar 120 menit ini terlalu mengedepankan romantisme hubungan pria-wanita (meski dibingkai dalam perspektif etika pergaulan dan poligami dalam Islam), ketimbang mengeskplorasi tema lain seperti indahnya toleransi yang diajarkan dalam Islam, yang di dalam novel digambarkan hubungan bertetangga antara Fahri Cs. dan keluarga Maria Girgis yang menganut Kristen Koptik. Dalam film, saya tidak melihat adegan-adegan saat Fahri Cs. (sebelum Fahri menikah dengan Aisha), diajak makan bersama keluarga Maria di sebuah restoran elit di Mesir. Saya juga tidak melihat fragmen saat Fahri memberi kejutan berupa kado ultah kepada Madam Nahed (ibunya Maria), dan Yousef (adik Maria) sebagai bentuk toleransi yang ditunjukkan Fahri. Tadinya saya berharap ada adegan yang menggambarkan betapa senangnya Madam Nahed saat mendapat surprise dari Fahri.

Bila saja pembuat film ini jeli, menurut saya fragmen seperti ini sangat penting ditampilkan untuk menambah kekuatan cerita. Ini juga menjadi benang merah yang menjadi alasan dan jawaban penonton mengapa Madam Nahed alias si Nyonya Boutros harus rela dan tanpa keragu-raguan menerima Fahri sebagai menantunya, meskipun niat Fahri memperistri Maria semata-mata untuk menuruti keinginan istrinya, Aisha dan untuk menolong Maria dari kondisi komanya (disamping untuk menyelamatkan Fahri dari tuduhan pemerkosaan oleh Noura). Pembuat film nyatanya lebih tertarik menitikberatkan bentuk toleransi Fahri kepada Maria secara individu, bukan kepada keluarganya secara keseluruhan.

Kedua, saya kurang begitu sreg dengan pilihan yang jatuh pada Zaskia Adya Mecca yang memerankan Noura, si gadis teraniaya anak si Muka Dingin Bahadur. Bukan karena akting Zaskia, tapi lebih karena kurang matching-nya wajah dan karakter seorang Zaskia dengan karakter seorang Noura yang bengis dan pendendam. Seharusnya pembuat film ini bisa menggiring emosi penonton untuk membenci karakter Noura. Tapi karena si imut Zaskia yang memerankan Noura, agaknya penonton seperti saya agak susah untuk memiliki perasaan seperti itu. Jadi intinya, tampang Zaskia yang imut dan sangat Melayu itu tidak cocok memerankan Noura yang berdarah Arab dan memiliki sifat bengis. Saya lebih sreg kalau Zaskia memerankan tokoh Nurul (diperankan Melanie Putria), si gadis patah hati anak pemilik salah satu pesantren dari Indonesia.

Di luar itu, saya pikir secara keseluruhan film ini sudah lumayan bagus. AAC adalah film yang menurut saya paling berbobot dibanding film-film Indonesia lainnya yang pernah saya tonton. Tema poligami dan romantisme hubungan pria-wanita (dalam perspektif Islam) yang menjadi daya tarik utama film ini, begitu indah ditampilkan secara visual oleh sang sutradara Hanung Bramantyo. Meski katanya, dari sisi pengambilan gambar hampir seluruhnya tidak dilakukan di Mesir. Begitu pula dengan pesan (message) keislamannya, disampaikan sangat wajar dan terkesan tidak dipaksakan. Seperti adegan saat Maria, si Gadis Koptik yang Aneh, membacakan surah Mariyam di hadapan Fahri dalam sebuah bus, adegan pembelaan yang dilakukan Fahri kepada Alicia dan Aisha di dalam metro, atau adegan tallaqi Fahri kepada Syaikh Utsman Abdul Fattah.

Jarang sebuah film bisa menghipnotis seseorang hingga berderai-derai seperti yang terjadi pada sohib saya si Ucok Pohan. Sehabis nonton si Ucok mengaku kepada saya dari mulai pertengahan film (saat Maria dan Nurul digambarkan tercabik-cabik perasaannya mengetahui Fahri menikah dengan Aisha, lalu serangkaian tuduhan keji yang dialamatkan kepada Fahri, atau saat Maria di ujung hayatnya meminta menjadi makmum bersama Aisha yang diimami sang suami Fahri, hingga antiklimaks saat Fahri bahagia bersama Aisha), si Ucok mengaku ia tak kuasa menitikkan airmata! Apalagi manakala kejadian-kejadian menyayat hati itu diiringi lantunan nan syahdu penyanyi Rossa dari album Ayat Ayat Cinta, atau suara serak Ust. Jeffry Al Buchori yang menyenandungkan Istighfar. Hehe tak sangka saya, si Ucok yang berbadan tinggi besar dan bermuka agak sedikit garang itu, luluh juga hatinya menonton film ini:-P. Cok, cok, cemen kali kau!

Saya sendiri? Hehe meski tak separah si Ucok rasanya sulit melupakan begitu saja esensi dari film ini. Kalau saja saya dalam posisi Fahri, saya juga rasanya sulit menolak dua hati seperti Aisha dan Maria:-P. Yang jelas, semisal saya dalam posisi Fahri yah, saya akan belajar dan berusaha untuk mendekati adil, meski kata si Saiful, teman satu kostnya Fahri, sangat tidak mungkin menerapkan konsep adil dalam perkara poligami:-). Wallahualam.

Senin, 10 Maret 2008

Betapa Susah Jadi Orang Susah


Bogor-Jakarta yang Tak Terlupakan

Duh, lama nian daku tak mem-posting artikel baru. Maklum, bukan karena nggak nemu internet tapi karena rutinitas kerjaan yang begitu menyita waktu. Satu lagi, karena belakangan ini saya lagi gandrung main game komputer war-war-an. Jadi waktu untuk menulis di blog agak sedikit terabaikan. Duileehh,,,

Sekarang baru ada sedikit waktu untuk menulis di blog lagi. Mungkin karena momen yang akan saya utarakan di sini agak sedikit menyebalkan, jadi terasa sayang untuk dilewatkan begitu saja. Sebuah pengalaman yang terjadi pagi tadi, di atas KRL “Economy Class” jurusan Bogor-Jakarta yang membuat hatiku luluhlantak.

Begini ceritanya. Libur kantor selama 3 hari (Jumat, Sabtu dan Minggu) alias long nice weekend kemarin, saya manfaatkan berkunjung ke rumah seorang kerabat di daerah Leuwiliang, Bogor. Singkat kata, tiba waktu pulang. Senin pagi, sehabis subuh, saya sudah pamitan dengan tuan rumah untuk kembali ke Jakarta. Di St. Bogor saya nyampai sekitar pukul 06.45 WIB.

Setelah membeli karcis seharga Rp2.500,- dan (juga) setelah sempat mencicipi sepiring nasi goreng pinggiran, saya putuskan untuk naik salah satu KRL yang lagi ‘ngetem’. Sial, KRL yang saya naiki ternyata ada gangguan teknis. Kelihatannya ada sedikit gangguan di sistem pelistrikannya. Melihat gelagat akan ada pemunduran jadwal keberangkatan, saya putuskan untuk pindah ke KRL lain.

Oya, KRL dari Bogor tujuan Jakarta memiliki dua rute. Satu ke St. Tanah Abang dan satunya lagi ke St. Beos Kota. Sementara tujuan saya St. Kalibata. Dua rute KRL ini pasti akan melewati St. Kalibata karena perpecahan rute akan terjadi di St. Manggarai (sebelum St. Kalibata). Jadi tak masalah KRL manapun yang saya naiki pastilah melewati tujuan saya.

Tapi alamak, seperti halnya KRL pertama yang urung saya tumpangi, KRL kedua juga disesaki penumpang! Cepe deh! Dalam hati saya membatin; alamat di pemberhentian berikutnya penumpang senasib sepenanggungan akan semakin bertambah. Dan benar saja, saat KRL telah melaju dan singgah di beberapa stasiun, penumpang bukannya surut, malah tambah berjubel. Bayangkan satu gerbong yang kapasitas maksimalnya sekitar 120 penumpang diisi sekitar 700-an lebih penumpang!

Jadilah perjalanan Bogor-Jakarta hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan. Waktu tempuh yang hanya sekitar 45 menit serasa seperti perjalanan seharian. Riweh. Sesak. Seperti kelelep, teriak seorang penumpang di dalam sana. Kasihan bapak-bapak, ibu-ibu renta dan penumpang wanita (untung tak terlihat yang bawa anak-anak). Mereka harus berjuang lebih keras untuk bertahan hingga stasiun tujuan.

Di tengah suasana dimana oksigen menjadi ‘barang’ yang sedikit berkurang kualitasnya, ada-ada saja ulah beberapa penumpang yang agak konyol. Celetukan dan banyolan mereka di tengah suasana yang bak berada di dalam kaleng Sardinces itu, bagi saya agak sedikit menghibur. Apalagi saat melihat seorang pria latah dikerjain habis-habisan oleh teman-temannya. Tapi kasihan juga sih, mukanya jadi pucat pasi setengah matang karena kelelahan. Persis kayak ikan kaleng Sardinces benaran. “Hormaaat graaaakkkkkk!” pekiknya saat teman disebelahnya melatahi dengan ucapan lain. Hehe yang lain pada mesem-mesem capek melihatnya. Siapa suruh jadi orang latah!

Tiba-tiba persis di depan saya seorang bapak-bapak berusia sekitar 40 tahun berteriak kehilangan HP. Suasana pun bertambah riuh. Teman si Bapak mencoba untuk miscall tapi tidak ada nada tunggu. Yah bapak, kenapa juga nggak ati-ati udah tau keadaan lagi kacau... Si bapak lalu berujar pendek yang sayup kudengar; ikhlas, ikhlas dah saya… Persis kejadian yang saya alami belum lama ini.

Hhh…akhirnya. Setelah berjibaku hampir 45 menit di dalam KRL yang penuh sesak, saya pun tiba di stasiun tujuan. Lega rasanya meski kaki sebelah kiri saya agak sedikit lunglai dan sakit akibat berdesak-desakan. Satu hal yang ingin saya sampaikan kepada pihak pengelola jasa perkeretaapian, tolonglah benahi persoalan seperti ini. Tolong dijaga agar muatan tidak melebihi kapasitas, ya Pak. Kasihan orang susah tambah susah!