Jumat, 15 Februari 2008

Valentine is Bad Day


Tetap Waspada di Manapun Kau Berada

Valentine Days, bagi banyak orang mungkin hari yang penuh makna dan suka-cita. Bagi saya sebaliknya. Atau mungkin saya yang terlalu subyektif yah? Entahlah, pokoknya hari dimana banyak orang merayakannya sebagai hari kasih sayang itu, saya justru ditimpa kemalangan. Kesian deh eloh...

Pengalaman buruk saya ini mungkin bisa dijadikan pelajaran bagi para pembaca. Terlebih bagi mereka yang tinggal, beraktifitas, atau akan bepergian ke kota besar seperti Jakarta. Tetaplah waspada akan orang-orang di sekitar anda (di bis kota, angkot, kapal, kereta, pasar, terminal dll.). Jangan mudah percaya dengan wajah yang ramah dan cantik sekalipun. Siapa tahu dibalik itu tersimpan akal-bulus yang bakal merugikan kita.

Cukup saya saja yang mengalami dan terpaksa harus mengatakan: “Valentine is bad day!” Tapi untuk valentine tahun ini saja yah… Tahun depan saya yakin Tuhan akan melipat-gandakan kasih sayangnya untuk saya dan juga buat kita semua. Amin.

Begini ceritanya. Kamis (pagi) kemarin, atau bertepatan dengan hari dimana orang-orang mengenalnya dengan istilah valentine, saya dan seorang rekan mendapat tugas kantor ke luar kota. Tujuan saya kali ini adalah Kota Bogor. Untuk menghemat waktu dan ongkos, dari Jakarta saya memilih naik KRL Ekonomi. Dari Stasiun Kalibata, sebelum meneruskan perjalanan ke Bogor, saya harus bertemu rekan saya dulu di Stasiun Lenteng Agung.

Dari rumah saya tidak memiliki firasat apa pun. Yang saya rasakan justru hari itu saya tidak begitu bersemangat dan juga tidak begitu konsentrasi. Mungkin keadaan saya yang seperti inilah yang dibaca dan dimanfaatkan orang. Padahal KRL yang saya tumpangi pagi itu tidak begitu penuh sesak, meski saya juga tidak kebagian tempat duduk.

Saya baru menyadari telah kehilangan sesuatu ketika saya sudah turun dari kereta dan telah menjejakkan kaki di Stasiun Lenteng Agung. Seperti air terjun, seketika luruh hati saya mendapati HP yang saya taroh di dalam mini bag dan dikaitkan di ikat pinggang celana bagian depan, telah raib entah kemana!

Wasalam, begitulah yang terjadi. HP kesayangan saya merk Sony Ericsson K610i yang saya beli lebih dari setahun yang lalu itu, benar-benar telah berpindah tangan. Sedikit saya menyesali diri akibat keteledoran saya. Andai waktu bisa berbalik sepersekian menit saja, mungkin saya bisa memperbaiki keadaan yang tidak menguntungkan ini. Tapi mana mungkin waktu bisa di-rewind seperti memutar kaset rekaman. Ah, tidak mungkinlah itu.

Lets bygone be bygone, yang lalu biar berlalu. Kata orang Betawi barang udah ilang apa mo dikate. Yang ilang kagak usah disesali tapi harus dijadiin pelajaran supaya lebih ati-ati, nyok!

Keesokan harinya saya lekas-lekas mem-blokir nomor saya di Grafari Telkomsel, Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta. Keinginan saya cuma satu; menyelamatkan nomor saya yang sudah saya gunakan hampir 2 tahun dan, satu lagi, saya ingin cepat-cepat membuang kenangan yang tidak begitu baik di hari valentine tahun ini.

Rabu, 13 Februari 2008

Ririn Dwi Ariyanti


“Manusia Jangan Egois”

Kata Ririn, mengapa sering terjadi banjir karena manusia suka menyepelekan alam. Kita harusnya menyayangi alam karena alam nggak bisa didaur ulang. Banjir terjadi terus, jadi manusia nggak boleh egois hanya memikirkan kehidupan sekarang. Pikirkan untuk beberapa tahun ke depan, untuk alam yang bisa dinikmati oleh generasi-generasi mendatang.

Sore itu, langit di Timur Jakarta begitu bersahabat. Seraut wajah cantik khas Melayu terlihat sedang diwawancarai awak infotainment. Seperti biasa, ia begitu bersemangat dengan bibir yang tak henti-hentinya mengembang. Di luar sana, puluhan penggemarnya dengan setia menunggui dara kelahiran Jakarta, 6 November 1985 yang hari itu sedang syuting sebuah sinetron.

Usai diwawancarai infotainment, Ririn dengan ramah menerima kami. Beberapa hari sebelumnya, Ririn memang telah berjanji bertemu di sebuah rumah mewah di daerah Pondok Kelapa, Jakarta Timur, yang dijadikan tempat syuting sinetron berjudul Cahaya. Seperti seorang sahabat yang telah lama tak bersua, Ririn dengan antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

Kata sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina yang baru lulus November 2007 ini, air adalah kebutuhan primer yang sama besar artinya dengan nafas kita. Manusia tanpa air mustahil bisa hidup. Air adalah kebutuhan yang sangat penting. Kita minum dan membersihkan diri dengan air. Jadi, kata artis muda yang bermain bagus dalam beberapa sinetron seperti Ada Apa dengan Cinta, Bukan Diriku, Cincin dan Impian Cinderella ini, sudah selayaknya bila kita menghargai keberadaan air dengan sebaik-baiknya.

“Kita harus menjaga air dari pencemaran. Karena kalau kita nggak bisa dapetin air yang bagus, dampaknya mempengaruhi kesehatan kita banget. Kalau air yang nggak bagus itu, baju warna putih kalau diucuci bisa berubah kuning lama-lama. Terus untuk diminum bau, kalau dimasak yah nggak sehat. Akhirnya bisa jadi penyakit buat tubuh kita. Makanya air harus kita jaga dari pencemaran,” cerocos Ririn.

Cara yang paling gampang untuk menjauhkan air dari pencemaran, adalah dengan tidak membuang sampah sembarangan. Setiap orang, kata dara yang mengaku setiap hari bisa minum sampai 3 liter air ini, pasti bisa melakukannya asalkan ada kesadaran.

“Kesadaran dari diri kita sendiri itu sangat penting. Contohnya ayah saya paling marah kalau lihat anaknya buang sampah sembarangan. Saat lagi di mobil misalnya, nggak usah buang sampah di dalam mobil. Nanti kalau sudah sampai di rumah baru dibuang di tempat yang benar. Ini saja sudah sangat membantu menjaga keseimbangan alam kok,” ujar bungsu dari 2 bersaudara pasangan Amelia Rusanti dan Sudirman Riantonoto.

Tak terasa sudah lebih 15 menit kami berbincang santai di sela-sela break syuting pemeran Talita di sinetron Cahaya ini. Yang menyenangkan raut mantan kekasih Benny Mulya ini tidak berubah seperti di awal-awal wawancara. Ia tetap ceria dan murah senyum. Dan, keceriaannya itu kontan bertambah tatkala saya memintanya berpose di depan kamera.

“Pokoknya saya berharap PDAM bisa terus meningkatkan pelayanannya untuk masyarakat. Kalau bisa sih air yang diproduksi bisa langsung diminum, meskipun untuk mewujudkan ini sepertinya butuh waktu yang lama. Mudah-mudahan saja hal ini bisa diwujudkan. Kalau itu sudah bisa terealisasi yang senang kan masyarakat juga, dan itu untuk kesehatan juga,” imbuh Ririn. Ya deh...

Pondok Kelapa, Kamis, 31 Januari 2008

Zili, Rosa Hilda dan si Ucok Pohan, yang terakhir adalah pemrakarsa sekaligus penggemar berat si Ririn:-P

Senin, 11 Februari 2008

Sriwijaya FC Ukir Sejarah Baru


Raih ‘Double Winner’ Liga Indonesia

Setelah cukup lama tidak mem-posting artikel baru--karena kesibukan di sana-sini--saya tentunya tidak ingin melewatkan satu kesempatan langka untuk turut ber-eufhoria. Sekedar ikut merayakan kemenangan tim idola saya; Sriwijaya FC Laskar Wong Kito Galo! :-P

Lupakan sebentar carut-marut dunia persepakbolaan kita di bawah naungan PSSI, lupakan soal keributan-keributan para suporter bola yang kerap terjadi, lupakan soal sepinya prestasi pemain lokal yang berkualitas, lupakan soal prestasi timnas kita yang tidak cukup membanggakan, dan lupakan soal kegamangan kita menatap masa depan persepakbolaan tanah air. Pokoknya lupakan dulu yang sedih-sedih deh:-D

Sebagai warga Sumsel di perantauan, tak usah diragukan lagi saya adalah salah seorang yang turut berbahagia dan bangga atas kemenangan Sriwijaya FC versus PSMS dengan skor 3-1 yang digelar Minggu malam, 10 Februari 2008 di Stadion Jalak Harupat Kabupaten Bandung. Kemenangan ini dicatat sebagai sejarah baru di blantika persepakbolaan tanah air sebuah tim mampu mengawinkan (double winner) Copa Indonesia dan Liga Indonesia dalam satu musim! Hebat yah…

Selain saya dan warga Sumsel lainnya, para pemain dan official, tentunya ada dua orang yang paling berbahagia atas kemenangan tim berjuluk ‘Laskar Wong Kito’ ini. Yang pertama, siapa lagi kalau bukan sang arsitek Rahmat Darmawan. Di bawah kepemimpinan pelatih yang menjadi kandidat kuat pelatih timnas pengganti Ivan Kolev ini, Sriwijaya FC yang baru berusia 3 tahun mampu menjadi tim terbaik di Indonesia.

Kedua, siapa lagi kalau bukan Gubernur Sumsel Syahrial Oesman. Di televisi terlihat Pak Syahrial tak henti-hentinya mengumbar senyum sembari mengangkat Piala Liga Djarum Indonesia. Terlepas dari ketidakjelasan berapa besar uang rakyat (yang diambil dari APBD) yang sudah tersedot untuk mengorbitkan Sriwijaya FC, tak bisa dipungkiri dengan kemenangan ini Pak Syahrial telah membuat warga Sumsel terhibur dan bangga memiliki tim sekuat Sriwijaya FC. Ini merupakan credit point tersendiri bagi yang bersangkutan menjelang Pilkada Sumsel yang rencananya bakal digelar November 2008. “Sukses untuk Pak Syahrial!”

Di luar eufhoria kemenangan tim kuning Sriwijaya FC, ada hal yang patut dicatat dari sosok pelatih PSMS Freddy Mulli saat mengomentari kemenangan tim lawan. Saat diwawancarai Anteve secara on the spot usai laga yang mendebarkan itu, Freddy dengan sportif mengakui keunggulan Sriwijaya FC. Bak seorang pujangga Freddy mengatakan kalimat yang begitu dalam secara makna, “Yang terindah itulah juara.”

Bravo Sriwijaya FC! Bravo dunia sepakbola tanah air! Bravo untuk saya sendiri hehehe…

Sabtu, 02 Februari 2008

Banjir Lagi, MPDT Aje Bang Fauzi…


Hujan yang mengguyur Jakarta dan Bogor dua hari belakangan ini, praktis membuat sebagian besar wilayah ibu kota lumpuh. Di mana-mana lalu-lintas mandek. Air menggenang di jalanan bahkan di rumah-rumah penduduk, menambah pilu warga ibu kota yang baru saja lepas dari masalah serupa seminggu sebelumnya. Duh, ibu kota…

Kondisi ibu kota yang sebagian besar lumpuh dan semrawut akibat banjir, kontan membuat sebuah harian nasional menggerutu. Dalam editorialnya, harian tersebut (Media Indonesia edisi Sabtu, 2 Februari 2008) menyebut kondisi ini sudah memasuki tahap memalukan negara. “Malu memiliki ibu kota negara yang bukan hanya mengalami macet dan semrawut, tetapi juga tiap kali musim hujan datang berubah menjadi sungai dan waduk.”

Sangat beralasan apa yang dikemukakan sebagian besar media kita. Apalagi bila melihat simbol-simbol sebuah bangsa seperti bandara internasional mendadak harus berhenti beroperasi. Seperti yang terjadi Jumat kemarin, Bandara Internasional Soekarno-Hatta ditutup akibat banjir. Tak hanya itu, areal istana negara yang konon, selama ini bebas banjir juga tak luput dari genangan air setinggi 1 meter.

Pertanyaannya adalah mengapa kondisi ini tidak juga bisa diatasi? Mengapa kita semua (yah masyarakat, juga pemerintah dan DPR) tidak pernah belajar dari masa lalu dan dari negara lain? Padahal banyak orang pintar di negara kita? Tapi percuma juga sih kalau kita tidak punya kesadaran dan komitmen untuk keluar dari kondisi ini. Waduh!

Terlepas dari solusi mengatasi banjir dengan membangun Banjir Kanal Timur dan Kanal Barat, yang belum juga terealisasi akibat terbentur masalah pembebasan lahan, pemerintah sebenarnya sudah tahu ada solusi lain dan sangat brilian untuk mengatasi persoalan multi-kompleks ibu kota. Solusi itu adalah dengan membangun dan mengimplementasikan konsep pengelolaan sumberdaya air perkotaan secara terpadu atau bahasa kampung saya Integrated Urban Water Resources Management (IUWRM):-P

Dalam sebuah wawancara khusus saya dengan salah seorang penggagas konsep ini (Dr. Ir. Firdaus Ali, M.Sc) di kampus UI Depok belum lama ini, Firdaus mengemukakan perihal metode ini. Menurut dosen FT-UI ini, salah satu solusi yang pada dasarnya tidak terkendala pembebasan lahan adalah dengan membangun suatu sistem terowongan bawah tanah multi-guna (Multi Purpose Deep Tunnel atau MPDT).

Di negara-negara maju sistem terowongan bawah tanah sudah sangat familiar. Kalau anda hobi nonton film-film action barat seperti Die Hard yang dibintangi Bruce Willis, kita bisa saksikan terowongan yang dimaksud itu. Di dalam terowongan inilah beberapa obyek vital seperti saluran pipa air, gas, telepon dan listrik di tempatkan. Bahkan di dalam terowongan ini juga bisa difungsikan sarana transportasi seperli tol dan jalur kereta api. Kebayang kan kalau kita punya sistem perkotaan seperti ini?

Memang sih, menurut Firdaus Ali, biaya yang dibutuhkan untuk merealisasikan konsep ini sangat besar. Untuk membangun MPDT sejauh 22 kilometer di bawah kota Jakarta dibutuhkan investasi sebesar Rp17, 2 triliun! Toh biaya ini bukan hal yang mustahil bila selama ini kita sanggup menanggung kerugian akibat banjir yang mencapai Rp18,7 triliun dan kerugian akibat kemacetan yang mencapai Rp43 triliun.

Saya sih sepakat, pilih membangun MPDT ketimbang menanggung kerugian yang sudah jelas kita rasakan seperti selama ini. Disamping modern, kita juga bisa merasakan multimanfaat jangka panjang dalam rangka mengatasi beragama persoalan kota seperti kelangkaan air baku, kemacetan, banjir dll. Anda bagaimana?:-D