Sabtu, 17 November 2007

Wiraswasta Lebih Membahagiakan


Hajar, Jangan Tunda Peluang!!!

Ini sebuah penelitian menarik yang dilakukan di Australia tentang berwiraswasta. Ternyata berwiraswasta jauh lebih membahagiakan ketimbang bekerja di bawah orang lain.

Blogger, dalam penelitian yang dilakukan terhadap 7.000 pekerja Australia tersebut, ditemukan fakta, secara umum mereka yang mempunyai usaha sendiri lebih berbahagia daripada yang menjadi karyawan orang lain.

“Hasil penelitian ini sangat jelas. Jika Anda mencari kepuasan dan kebahagiaan hidup, Anda bisa mempertimbangkan untuk membuka usaha sendiri,” ujar Profesor Michael Schaper, Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Murdoch, Australia, pemimpin penelitian tersebut.

Dengan menggunakan data yang dikumpulkan Badan Rumah Tangga, Pendapatan, dan Pekerja Australia, para peneliti membandingkan tingkat kepuasan dari 536 wiraswasta dengan 6.840 karyawan.

Penelitian itu membandingkan berbagai hal, di antaranya kepuasan hidup, kerja, prioritas, harapan pendapatan, risiko kerja, dan kesehatan pribadi.

So, Anda bisa menjadikan penelitian ini sebagai titik tolak untuk melirik satu peluang yang selama ini tidak terlalu menarik bagi kita, karena kita terlalu asyik dengan status kita sebagai karyawan, yaitu dunia wirausaha. Selamat berbenah!

Jangan Ambil Angklung Kami, Pakcik...


Petinggi Negeri Pliis Selamatkan Kekayaan Bangsa

Belakangan ini--baik yang tercermin lewat media internet, cetak maupun elektronik--terasa sebuah kegalauan, keresahan dan keprihatinan yang mendalam dari kita semua sebagai bagian dari bangsa. Ini berkaitan dengan klaim Malaysia terhadap angklung yang diakui sebagai local instrument mereka. Duh, apa saja sih kerja para petinggi negeri sehingga kita kecolongan lagi kecolongan lagi yah...?

Kecemasan beberapa kalangan akan serangan neo-kolonialisme ala Malaysia kembali mengemuka, begitu bunyi headline media massa. Rupanya ini berkaitan dengan klaim Negeri Jiran yang secara implisit mengakui angklung sebagai budaya mereka. Seperti diketahui Malaysia menampilkan permainan angklung dalam salah satu segmen iklan pariwisata mereka. Padahal, secara historis dan budaya angklung merupakan produk asli (national heritage) Indonesia, yang berasal dari Bumi Parahyangan, Jawa Barat.

Blogger, tentu saja hal ini membuat kita terperangah, kok bisa yah? Indonesia yang katanya sebuah negara besar dengan kekayaan seni dan budayanya, dilecehkan identitasnya begitu saja oleh sebuah negara kecil? Padahal kita memiliki beberapa departemen yang secara khusus mengurusi masalah seni, budaya, pariwisata, kekayaan intelektual, serta politik luar negeri. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Kenyataannya, di saat negara lain sibuk mempromosikan pariwisatanya, kita malah sibuk sendiri--seperti anak autis itu loh--misalnya dengan polemik pengaturan kekuasaan, menentukan harga minyak goreng, nasib TKI kita, kasus BLBI yang tidak jelas juntrungannya, mencari seribu alasan berkelit dari cap sebagai salah satu negara terkorup di dunia, atau soal nasib PSSI yang--katanya--carut-marut itu loh blablabla....

Kembali soal klaim Malaysia atas alat musik angklung, beragam reaksi masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja oleh pemerintah. Masalah tentu akan semakin rumit dan kompleks manakala misalnya, ketika angklung dan batik dipatenkan oleh Malaysia, atau tempe dan tahu oleh Jepang. “Jangan-jangan kita yang nanti malah dituding meniru desain angklung atau batik, serta dianggap melanggar oleh pemegang hak paten,” kata Tatty Aryani, dosen Fakultas Hukum Universitas Bandung (Unisba).

Jadi, sangat masuk akal apa yang dikatakan para pelaku dan pengamat budaya kita, bahwa sebelum semuanya terlambat, pemerintah harus segera melakukan upaya legal formal atas aset kekayaan nasional. Salah satunya dengan melakukan registrasi ke World Trade Organization (WTO) atas--jika perlu--semua kekayaan budaya kita.

Blogger, atas semua kelukaan yang telah ditorehkan oleh Malaysia, yang katanya masih serumpun dengan kita itu, tentunya kita sepakat bahwa kita harus punya sikap yang tegas, jika perlu dengan melakukan perlawanan. Namun, tentu tidak dengan cara kekerasan seperti politik “Ganyang Malaysia” tahun 1963 yang bisa berdampak tidak baik bagi kedua negara dan juga bagi perdamaian dunia. Zaman dulu dengan zaman sekarang kondisinya sudah berbeda, bung.

Sepakat dengan statement orang-orang bijak, bahwa kita harus belajar dari sejarah. Cukup kita kehilangan pulau, jangan sampai kita kehilangan identitas sebagai bangsa. Setuju?