Kamis, 20 September 2007

Sang Mpu Pergi Meninggalkan Kami


Hari-hari Terasa Semakin Menantang
Catatan perjalanan Teknologi Delta Qualstone di Leuwiliang-Bogor **2


Jujur, kegalauan akan ketidakpastian masa depan sering menyelinap dalam benak kami. Namun saat melihat peluang yang datang, terkadang semangat itu kembali menyala-nyala. Inilah yang kami rasakan. Di saat “Sang Mpu” meninggalkan kami pulang ke Sumatera, justru prospek mendekati kami. Mr. Yuki yang berasal dari Jepang dan Ir. Ariyanto, seorang konsultan dan praktisi arsitektur yang berdomisili di Kota Bogor, di antaranya. Catatan ini kurangkum dari tanggal 14 Februari-14 Maret 2007 --(sebelum membaca tulisan ini disarankan untuk membaca “Kampung itu Bernama Kampung Kosol” terlebih dahulu-bagian dua dari tiga tulisan).

* * * *
Hari ini tepat dua bulan aku berada di tanah Banten, tepatnya di Leuwiliang, sebelah selatan Kota Bogor. Atau sekitar 46 km dari kota tempat salah satu istana kepresidenan terletak, yakni Istana Bogor. Banyak hal yang kami dapat selama kurun waktu yang lebih dari cukup untuk membuat seekor anak singa berlari dengan kecepatan 40 km/jam. Ibarat tempaan besi Sang Mpu, memang belum terlalu sempurna untuk dapat digunakan. Tapi mudah-mudahan seiring berjalannya waktu, serta cobaan dan pelajaran yang kami dapat, makin hari kami makin lebih baik. Mudah-mudahan. Mungkin seperti harapan Sang Mpu.

Salah satu hikmah terbesar yang kami dapat di Leuwiliang adalah kesabaran. Kesabaran menghadapi kondisi dan keadaan yang serba memprihatinkan. Kesabaran menghadapi segala benturan permasalahan dan persoalan yang datang bagai tak berujung. Hanya kebersamaan dan keyakinan yang membuat kami bertahan. Terus memompa semangat juang serta tidak lupa menengadahkan tangan meminta kepada-Nya. Yah, hanya kepada-Nya lah tempat yang paling tepat untuk berkeluh kesah dan meminta pertolongan. Bukankah Allah SWT telah menjanjikan bahwa dibalik setiap kesulitan terdapat kemudahan? Dia bukankah tidak akan pernah merubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang merubahnya. Wahai, itulah inti dari keyakinan kami di sini.

Daya tempa yang kami dapat begitu terasa setelah “Sang Mpu” meninggalkan kami semua menuju Pulau Sumatera untuk maksud yang, tentu saja hanya beliau sendiri yang tahu (telah dua bulan lamanya kami ditinggal pergi). Sejak itulah kami seolah kehilangan figur “ayah” di tengah-tengah kami. Kami bertahan seadanya, berjuang sekuat tenaga membangun mimpi-mimpi indah menjadi kenyataan tanpa beliau di sisi kami. Mungkin keadaan seperti ini memang dikondisikan, mungkin juga tidak. Mungkin keadaan ini merupakan bagian dari skenario tempaan “Sang Mpu”? Bahwa beliau menginginkan kami kuat dalam kondisi apapun. Beliau inginkan kami menjadi manusia-manusia “tahan banting” agar bisa mengemban amanah yang tidak kecil ini? Begitulah sikap positif kami menghadapi kenyataan yang agak rumit ini. Sikap positif mampu memompa semangat yang layu menjadi kencang dan berenergi. Sikap positilah yang bisa mengajarkan kita berpikir dan bertindak bijak sehingga langkah-langkah yang ditempuh melupakan yang terbaik. Insya Allah kita bisa melewati keadaan seburuk apapun dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang. Yup, meski semua itu terkadang dimulai dari kondisi-kondisi yang terkadang pahit dan memilukan. Itulah, lagi-lagi ujiannya.

Sehari-hari kami tetap menjalani aktifitas dengan semangat yang terus kami pelihara. Melaksanakan tanggung jawab piket di dapur, meski untuk urusan yang satu ini kami sudah dibantu oleh Alex, si cowok kemayu yang telah kami anggap seperti saudara kami sendiri. Serta tak lupa melaksanakan tugas piket mushola, begaul dengan penduduk sekitar, begadang sembari bernyanyi dengan gitar pinjaman, atau sekedar nongkrong, ngobrol ngolor-ngidul di pingggir jalan depan rumah sembari menunggu datangnya azan magrib. Oya, di Kampung Kosol kami beroleh banyak kenalan baru yang sudah kami anggap seperti saudara sendiri. Ada beberapa yang telah begitu akrab dengan kami diantaranya si Salam. Orangnya sebetulnya baik, meski agak urakan dan terkadang suka seenaknya. Dia punya sepeda motor yang sering kami pinjam pakai untuk sekedar jalan-jalan ketemu kenalan atau lihat dangdutan di desa tetangga.

Di markas Leuwiliang personil-personilnya juga tidak menentu. Efroni misalnya, terpaksa harus pulang kampung ke Pagar Alam untuk urusan mengikat janji setia dengan seorang gadis asal Surabaya. Begitupun Andi yang sudah hampir satu bulan ini mudik ke Pagar Alam. Namun yang sampai saat ini masih ‘lekap’ ada beberapa orang yaitu Wilman, Joko, Julis, Pian, Santo, Manto, Erik, Topan, Kak Agus dan aku sendiri. Ditambah pasukan ‘kelam-timbul’ seperti Madjid, Pinsi, Makmun, Bakti dan yang lainnya. Atas kesepakatan bersama, kami juga telah membentuk semacam badan usaha kepengurusan “Basma Furniture” yang dimanajeri Wilman, meski pengelolaannya belum terlalu optimal. Basma Furniture merupakan semacam embrio usaha berbasiskan Teknologi Delta Qualstone di bidang furniture beton. Yah, mungkin ide furniture beton dengan sentuhan artistik berbasiskan sebuah temuan teknologi merupakan yang pertama di dunia yang kami kembangkan. Meski baru sebatas ide yang belum sepenuhnya terealisasi, toh kami menganggapnya sebuah terobosan yang cukup prospektif di masa yang akan datang.

Oya, perlu juga diketahui personil-personil yang telah berkeluarga di sini adalah Kak Agus, Joko dan Wilman, ditambah pasukan ‘kelam timbul’ seperti Makmun, Pinsi dan Madjid. Bagi kami yang belum berkeluarga, perasaan jauh dari keluarga tentu berbeda dari mereka yang telah punya anak dan isteri. Apalagi ada tanggung jawab yang ditinggalkan. Belum lagi perasaan ingin bertemu dan mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang tercinta. Semua itu tidak bisa dipungkiri akan senantiasa menjadi bagian pikiran dan buncahan perasaan. Sungguh bukan suatu yang mudah untuk dijalani, mengingat kondisi seperti saat ini yang belum sepenuhnya bisa memberikan tanggung jawab secara materil. Alangkah beratnya menghadapi kenyataan seperti ini. Tidak mudah untuk senantiasa memelihara harapan-harapan mereka yang siang dan malam selalu dihinggapi perasaan rindu. Tidak mudah untuk meyakinkan mereka bahwa kondisi seperti saat ini tidak akan berjalan lama. Tidak mudah. Butuh kesabaran, keikhlasan dan saling pengertian yang dilandasi kepercayaan, pengertian, keyakinan dan cinta. Yah Ummi, bersabar dan ikhklaskan perjuangan ini. Tetap istiqomah dan berdoa untuk keberhasilan kita. Yakinlah Allah bersama orang-orang yang sabar. Amin.

Rumah tempat tinggal sekaligus berfungsi sebagai kantor sementara kami di Leuwiliang cukup sederhana dan lumayan nyaman buat kami. Yap, meski pada awal ditempati banyak yang harus dibenahi karena kondisi bangunannya yang cukup memprihatinkan. Rumah permanen yang mempunyai empat kamar itu tepat berada di pinggir sawah yang dari kejauhan akan terlihat pegunungan Pongkor, Bogor. Bila malam tiba kawasan dataran tinggi nun di sana akan dihiasai oleh kerlap-kerlip lampu rumah penduduk. Agak ke belakang rumah, sekitar 100 meter terdapat sebuah sungai yang benama Cinaniki yang lumayan besar dan berair jernih. Oya, di sungai ini terkadang kita akan menemui suatu pemandangan yang agak asing sekaligus mendebarkan bagi mata yang memandang loh…? Posisi rumah yang kami tempati ini juga agak menyendiri dari rumah-rumah penduduk sehingga kami bisa leluasa dan tak terlalu mikir-mikir kalau ingin bernyanyi sembari berteriak-teriak sekalipun.

Begitulah panorama alam di sini. Lumayan indah sebagai tempat bermukim. Namun sebagai tempat pengembangan dan percepatan cita-cita memang telalu jauh dari pusat kota. Apalagi saat persoalan-persoalan dengan Pak Gandhi mulai mengemuka, padahal prospek yang harus kami tangkap sangatlah banyak seperti dengan Bupati Kaur, Bengkulu Selatan, Pemkab Kutai, Mr. Yuki dari Jepang, atau dengan Pak Putu dari Bali. Kondisi ini tentu akan lebih terbuka bila kami berada di Kota Metropolitan, Jakarta yang merupakan gudangnya investor kelas kakap. Namun apa mau dikata, kondisi kami belum memungkinkan.

Meski begitu, telah banyak kemajuan yang kami dapat selama kami berada di Leuwiliang. Secara spiritual, maski sedikit, kami merasakan ruh keimanan kami yang kian bertambah. Pembacaan Surah Yasin, yang kandungan maknanya sangat luar biasa itu, hampir tak lupa kami kumandangkan setiap selesai melaksanakan sholat Magrib berjamaah. Bahkan, pernah pada malam tahun baru Islam 1427 Hijriah yang lalu, pembacaan Surah Yasin sampai tujuh kali berturut-turut kami lakukan. Itulah saat-saat yang paling syahdu yang pernah kami rasakan di Leuwiliang. Saat-saat dimana puncak kepasrahan kami sandarkan dengan sepenuh jiwa. Kami yakin setiap doa-doa yang kami panjatkan akan mendapat jawaban dari-Nya. Mungkin hari ini. Mungkin lusa. Mungkin nanti. Harus bersabar dan tetap berusaha.

Kemajuan lain yang kami rasakan berhubungan dengan pekerjaan yang kami lakukan. Seperti soal perhitungan pembiayaan proposal pabrik yang menurut kami kian matang. Penyusunan AD/ART “Keluarga Besar Basma” yang terus dibenahi. Juga rencana pendirian PT. Janur Basma Internasional sebagai badan hukum pengganti Koperasi Delta Qualstone. Gambar-gambar yang dibuat Topan pun makin banyak dan variatif. Bahkan pengembangan TDQ yang bisa membuat segala macam furniture beton yang unik seperti kursi, meja, tempat tidur dan sebagainya, dimulai dari otak-atik gambar di komputer. Belum lagi perkembangan di lapangan yang berhubungan dengan calon investor baru.

Pada umumnya respon mengenai TDQ sangat besar dan positif. Misalnya, hari Selasa, 7 Maret 2006, aku, Kak Agus dan Madjid berangkat ke Jakarta menemui staf ahli Pemkab Kutai di Hotel Radtop Jakarta. Walaupun dari Bogor ke Jakarta kami harus menumpang KRL kelas ekonomi (tarifnya Rp. 2500/orang) yang penuh sesak manusia, namun tak membuat kendur semangat kami. Semua pasti ada hikmah yang tanpa disadari bisa melatih kepekaan kita akan lingkungan sekitar dan kenyataan yang terkadang memprihatinkan. Terakhir pada hari Sabtu, 18 Maret 2006 kami kedatangan tamu Mr. Yuki dan beberapa koleganya dari Jepang. Mr. Yuki ini adalah kontraktor kakap yang akan membangun sebuah rumah sakit di Jakarta. Mr. Yuki adalah kolega dari Ir. Ariyanto, seorang konsultan di bidang pembangunan dan praktisi arsitektur yang berdomisili di Kota Bogor. Beliaulah yang membawa Mr. Yuki hingga menjejakkan kaki di markas para Bujang Belantan di Leuwiliang nan terpencil ini.

Oya, tentang Ir. Ariyanto ini ada sesuatu yang unik yang mungkin bisa menjadi penggambaran betapa Teknologi Delta Qualstone memiliki daya magnet yang luar biasa. Ir. Ariyanto ini merupakan kenalan dan pernah menjadi mitra bisnis Pak Kancil dalam bidang perkapalan. Sebelum mengenal TDQ, Ir. Ariyanto telah lebih kurang 10 tahun mempelajari dan mencoba mengembangkan sebuah teknologi di bidang produk bahan bangunan yang berasal dari Spanyol. Sudah tak terhitung biaya yang ia keluarkan untuk mengembangkan teknologi tersebut. Teknologi Spanyol ini menggunakan styrofoam untuk bekisting (mal) sebagai pasangan coran dinding yang pengerjaannya juga sangat cepat. Namun teknologi Spanyol ini mempunyai banyak kelemahan seperti tidak tahan api, tidak efektif karena dari sisi pemasangan harus menggunakan alat khusus dan orang yang memasangnya pun harus ahli. Serta dari sisi pemanfaatan bahan baku yang harus impor.

Jadi kami menduga mungkin hal inilah yang menjadi faktor penghambat mengapa teknologi Spanyol yang coba dikembangkan Ir. Ariyanto di Indonesia kurang mendapat respon positif. Nah, setelah melihat dan mengamati secara langsung keunggulan TDQ, Ir. Ariyanto akhirnya mau terlibat mengembangkan teknologi karya anak bangsa sendiri. Lelaki kelahiran Jawa yang juga putra menteri di era Soeharto itu akhirnya meninggalkan teknologi yang selama ini ditekuninya. Begitulah, hingga akhirnya Ir. Ariyanto sebagai orang yang berpengalaman di banyak proyek, me-review perhitungan pembiayaan proposal TDQ. Membuat perbandingan yang lebih konkrit antara TDQ dengan produk konvensional lainnya, hingga membawa koleganya yang dari Jepang berkunjung ke markas Bujang Belantan di Leuwiliang. Nah!

Ingin juga kutambahkan di sini tentang keterlibatan Pak Kancil yang merupakan motor dan sumber inspirasi baru bagi kami. Riwayat keterlibatan Pak Kancil yang berasal dari Madura ini dimulai dari Haji Sukai yang juga telah banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan TDQ dalam hal membuka link-link baru dengan para calon investor. Haji Sukai-lah yang memperkenalkan TDQ kepada Pak Kancil hingga bisa disebut sebagai bagian dari tim di Leuwiliang. Bahkan dari sisi penguasaan tentang TDQ kami semua cukup salut dengan beliau. Pada saat Mr. Yuki datang misalnya, Pak Kancil-lah yang lebih banyak ambil bagian dan berbicara layaknya seorang sales marketing kepada calon konsumen. Yah, karena memang Pak Kancil ini bisa dikatakan merupakan pemain lama dalam bidang soft-selling. Pekerjaan sehari-harinya ia adalah salah seorang pendiri perusahaan yang menjadi distributor mobil keluaran Merci di Indonesia, yakni PT. Indomobil. Riwayat bagaimana ia mendirikan perusahaannya itu, juga dipenuhi romantisme yang mirip dengan perjuangan yang dilakukan orang-orang Delta. Bagaimana merasakan berjuang dari nol, dari yang tidak ada menjadi ada, sampai untuk makan bersama pun harus ngutang sana-sini.

Itulah sedikit tentang Pak Kancil. Darah pengusaha memang mengalir deras dalam tubuhya. Selain Indomobil, bersama sang istri ia juga melakoni usaha perkebunan sayur-mayur anti-pestisida (makanan organik) yang khusus memasok keperluan orang-orang Jepang yang mukim di Jakarta dan sekitarnya. Ia juga seorang yang menggeluti olahraga mobil dan even yang berhubungan dengan dunia balap. Prestasinya di dunia balap juga sudah tak terhitung. Ia pernah menjadi juara off-road tingkat nasional. Di rumahnya di Kota Bogor saja terdapat semacam bengkel atau workshop yang terkadang diperuntukkan juga untuk mencari pemasukan tambahan buat keluarganya. “Karena setiap langkahku harus menjadi uang,” begitu kata Pak Kancil suatu ketika saat berbincang-bincang dengan kami.

Keseriusan Pak Kancil bergabung dalam tim memang sudah banyak teruji. Misalnya, beliau sampai mempercayakan perusahaannya menjadi penjamin pemesanan master Ana sebesar Rp. 77 juta di perusahaan moulding PT. Indo Murayama di Bekasi. Harga yang harus dibayar pun tidak murah bagi Pak Kancil. Itulah ujian baginya. Ketika muncul persoalan yang berhubungan dengan komitmen dan kepercayaan, Pak Kancil harus ‘pasang badan’ diantara PT. Indo Murayama dan perusahaannya sebagai penjamin atas pemesanan master Ana senilai Rp. 77 juta. Tekanan dari perusahaannya pun tak kecil bagi Pak Kancil, hingga harus disidang dan diberi sanksi berupa penyetopan gaji untuk beberapa bulan.

Meski harus menerima berbagai cobaan, toh tidak membuat Pak Kancil kehilangan energi untuk tetap melanjutkan perjuangan perwujudan cita-cita Teknologi Delta Quasltone secara bersama-sama. Setiap ada kesempatan pastilah Pak Kancil dengan sedan tuanya, lebih sering bersama Haji Sukai, menyempatkan bertandang ke markas Leuwiliang. Bercerita mengenai prospek, atau membahas persoalan kecil. Terkadang ngolor-ngidul, dengan tak lupa membawa oleh-oleh dua loyang besar martabak manis yang dibeli di Pasar Leuwiliang khusus untuk para Bujang Belantan.

Begitulah. Persoalan yang terkadang pahit sebetulnya bisa menjadi gurih dan lezat bila diterapkan dengan cara berpikir yang manis dan positif. Ibarat kerak goreng yang selalu menjadi teman setia para Bujang Belantan, bila dikelola dengan baik dan benar tentu akan menjadi hidangan yang gurih dan lezat rasanya. Semua merupakan pilihan. Tinggal kita yang memilah mana yang terbaik dan bisa bermanfaat. Seperti martabak tidak ada yang pahit bukan? Kecuali, mungkin, martabak basi. Tinggal pilih rasa kesukaan kita. Mau yang rasa kacang, selai nanas, strawberry, keju, tapai ketan atau… mau dicampur aduk semuanya…? Hmmm…

Hehe..itu cuma penggalan dari kisah-kisah yang terkadang menjadi pemompa semangat dan menjadi bahan pelajaran yang sangat berharga. Bahwa betapa mahal harga sebuah kepercayaan. Ketika ia mulai dikangkangi maka akan berakibat yang kurang baik terhadap citra individu bahkan grup. Yang pada akhirnya merembet pada terseoknya perjalanan yang hendak dilalui. Atau ketika reputasi menjadi tercela akibat komitmen yang setengah-setengah bisa memporak-porandakan struktur bangunan yang teramat kokoh sekalipun. Bahkan bisa merembet ke wilayah hukum. Tapi beruntunglah semua yang kami hadapi dibangun dengan berlandaskan pengertian yang jauh ke depan. Meskipun terkadang hanya dari satu sisi. Tapi sampai kapan? Wallahualam.

Terakhir kami mendengar kabar lewat SMS yang kurang mengenakkan dari kampung halaman. Hal yang seharusnya tidak perlu terjadi bila saja ada keterbukaan dan kejujuran. Kami hanya bisa berdoa semoga semua yang sudah terjadi menjadi pelajaran yang berharga buat pelajaran grup ke depan. Bahwa kebersamaan, kekompakkan, keterbukaan dan satu persepsi terkadang menjadikan kita lebih besar dari masalah-masalah yang ada. Yakin bahwa amanah yang kita emban ini tidaklah kecil. Semua kita sedang dipersiapkan untuk kuat dan tangguh menghadapi setiap kondisi seburuk apapun. Pelipur lara di masa sulit hanyalah doa yang selalu kami panjatkan setiap selesai melaksanakan sholat Maghrib berjamaah.

Ya Allah ridhoilah perjalanan kami ini. Berikanlah kami kekuatan kesabaran. Jauhkan kami dari sikap sombong, angkuh, iri, dengki, tamak dan semua sikap yang tidak Engkau sukai. Gembirakanlah hati kami menghadapi setiap persoalan yang bagai tak berujung ini ya, Rabb. Peliharalah harapan dan cita-cita kami. Peliharalah harapan keluarga kami. Satukan selalu kami dalam kebersamaan, kekompakkan dan kekeluargaan. Jauhkan kami dari perpecahan dan pertikaian. Ya Allah, jangan matikan kami kecuali dalam keadaan iman dan Islam. Terima kasih ya Allah. Terima kasih atas semua nikmat yang telah Engkau berikan kepada kami. Amin ya Rabbal alamin…

Kampung itu Bernama Kampung Kosol


Sebuah Kampung nan Indah di Selatan Kota Bogor
Catatan perjalanan Teknologi Delta Qualstone di Leuwiliang-Bogor *1


Catatan ini merupakan penggalan kisah yang kurangkum dari tanggal 15 Januari – 14 Februari 2006 (bagian pertama dari tiga tulisan). Berisi cerita perjalananku bersama seorang sahabat, Santo namanya, dari kampung halamanku, Tebing Tinggi–Lahat menuju Kampung Kosol, Kabupaten Bogor. Sebuah kisah penuh romantika, sedih, senang dan susah campur aduk jadi satu. Tak sedikit hikmah yang kami dapat. Semua itu demi sebuah perwujudan: Teknologi Delta Qualstone.

* * * *
Hujan yang seakan tiada henti sepanjang perjalanan menuju Jasinga seolah menjadi penyambut bagi kami. Hari itu, Minggu, 15 Januari 2006 kami menjejakkan kaki pertama kali di Kampung Kosol, Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Hujan masih mengguyur saja. Dari terminal Kalideras, Jakarta, tentu saja setelah tanya sana tanya sini, kami naik bus AKAP Jakarta-Jasinga dengan ongkos Rp. 15 ribu per-orang yang menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam. Dari arah Jasinga, kami harus naik angkutan umum lagi ke arah Leuwiliang. Perjalanan tak kurang 20 menit menuju Kampung Kosol, Desa Sadeng, yang menjadi tujuan kami. Di sepanjang perjalanan menuju Leuwiliang ini, aku tak henti-henti mengagumi keindahan alam Bogor yang mempesona. Sempat aku berpikir penduduk di sini pastilah sangat bangga memiliki daerah yang sejuk, subur, yang dialiri oleh sungai besar, serta ditopang oleh perbukitan yang bak raksasa tidur di kejauhan.

Yup, daerah ini memang dikenal sebagai daerah penghujan, mungkin itulah yang menjadikannya berkah bagi alam dan penduduknya. Sangat berbeda dengan suasana Ibu Kota yang bising, polusi dan macet. Suer bikin stress. Aku membayangkan seumpama mempunyai kemampuan secara finansial, sangat ingin aku tinggal dan menetap di daerah pedesaaan yang masih asri. Yang ketika malam tiba akan terdengar suara binatang-binatang kecil seperti jangkrik, kodok atau tokek. Atau bisa dengan leluasa menikmati angin yang berhembus semilir membersihkan paru-paru. Dan ketika pagi tiba akan disambut senandung selamat pagi dari burung-burung hutan yang sampai ke telinga. Cukup sederhana kan? Itulah sebuah pilihan.

Sebetulnya, sudah lama aku menantikan keberangkatan ini. Cuma karena sesuatu dan lain hal, aku bersama Santo temanku, harus menunda sampai saat yang tepat itu tiba. Perlu juga kuterangkan tentang pengalamanku pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta
pertengahan tahun 2005. Bisa dikatakan aku cukup tahu tentang suka-duka perjuangan para Bujang Belantan hingga mendapatkan investor Pak Gandhi ketika berada di Serpong, Tangerang.

Oya, perlu juga kujelaskan arti kata ‘Bujang Belantan’. Dalam bahasa Pagar Alam, Sumsel, bermakna para pemuda yang mempunyai tekad mulia dan tujuan demi kepentingan orang banyak. Bisa dikatakan ‘Bujang Belantan’ merupakan simbol jiwa kepahlawanan seorang lelaki yang pantang menyerah dan gigih berusaha. Begitulah kira-kira arti Bujang Belantan.

Selama berada di Jakarta aku menumpang tinggal di kontrakan kakakku, Edy Suherli, di Meruya, Jakarta Barat. Dia sudah lebih empat tahun bekerja sebagai reporter di tabloid Cek dan Ricek. Melalui koneksi dialah aku sempat merasakan bekerja sebagai reporter tayangan Kroscek yang tayang di TransTV. Selama kurang lebih 3 bulan aku mendapatkan pengalaman jurnalistik yang sungguh seru dan mengasyikkan. Mengasyikkan, pertama, karena bidang jurnalistik adalah keahlianku (aku menyelesaikan kuliah dari mulai D1, D3 hingga S1 di jurusan jurnalistik). Kedua, karena Kroscek merupakan tayangan yang khusus meliput tentang selebriti di Jakarta. Jadi, melalui pekerjaanku aku banyak bertemu dengan fublic figure yang selama ini cuma bisa kusaksikan melalui televisi dan surat kabar. Nama-nama seperti Akbar Tanjung, Emha Ainun Nadjib, Titiek Puspa, aktor kawakan Roy Marten, penyanyi Dhea Mirella, Widi AB Three, Shania, Yuni Shara, Kristina, Rossa, Dewi Sandra, Nugie, mantan artis panas Inneke Koesherawati, bintang sinetron Meisya Siregar, Tia Ivanka, Dhini Aminarti dan Natalie Sarah, merupakan beberapa nama yang pernah kuwawancarai secara eksklusif.

Yak, itulah sekelumit perjalananku bergelut dengan dunia gosip saat menjadi wartawan infotainmen di Jakarta. Di sela-sela menjalani rutinitas yang padat sebagai reporter Kroscek, hampir tiap minggu kusempatkan bertandang ke rumah Kak tiok yang dijadikan markas sekaligus tumpangan tim Delta Qualstone (Kak Agus dan Topan). Dari rumah Kak Tiok yang tidak begitu jauh, selalu kusempatkan pula mampir ke pabrik kasur yang merupakan usaha keluarga milik Kak Tiok yang disulap menjadi pabrik batu. Disanalah para Bujang Belantan menetap tinggal dan setiap hari memproduksi batu Delta secara manual, hingga bisa membuat bangunan prototipe (semacam gazebo berukuran 3x3 meter) yang pada akhirnya mempertemukan Teknologi Delta Qualstone dengan Pak Gandhi. Tim Delta di Serpong waktu itu adalah: Kak Agus, Topan, Sumanto, Andi, Pipen, Pian, Joko, Erik, ditambah Herman, Pak Didit dan Bakti. Kurasakan bagaimana kerasnya mereka meneteskan keringat perjuangan. Lebih banyak harus menahan keinginan dikarenakan kondisi keuangan yang memprihatinkan, makan seadanya, bahkan harus menahan perasaan diantara sesama. Mereka mendapatkan pelajaran ketahanan mental yang sungguh luar biasa. Jarang ada pengalaman seperti ini.

Begitulah cerita perjalananku ketika pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta pertengahan 2005. Bertemu dan merasakan pahit-getir perjuangan para Bujang Belantan selama jauh di rantau dan sempat merasakan pengalaman jurnalistik mengesankan. Semuanya mengajarkanku bagaimana kerasnya kehidupan Kota Metropolitan.

Setelah tidak lagi di Kroscek aku kemudian memutuskan full-time mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran di Delta. Oya, perlu juga kujelaskan sedikit tentang Delta Qualstone. Delta Qualstone merupakan temuan teknologi baru di bidang fisik konstruksi dan produk bahan bangunan multi fungsi dan multi keunggulan. Teknologi ini ditemukan oleh salah seorang putra terbaik bangsa bernama Mursalim yang telah mendapatkan sertifikat pendukung sebagai sebuah temuan teknologi baru. Ke depan teknologi ini direncanakan dikembangkan dengan sistem lisensi-waralaba dengan pasar dunia. Artinya secara ekonomi teknologi ini menjanjikan kemakmuran bukan hanya bagi pemiliknya, tetapi juga bagi bangsa dan Negara sebagai sebuah aset yang menyentuh banyak aspek; ekonomi, politik, sains dan teknologi, serta kebanggaan (pride) sebagai bangsa.

Keinginan untuk full-time di Delta Qualstone juga didukung oleh Kak Salim, sang penemu yang masih terhitung saudara bagiku. Saat itu memang kondisi sangat logis karena perkembangan yang sudah mendapatkan investor yaitu Pak Gandhi. Pikirku, pasti banyak yang bisa kulakukan untuk turut memberikan arti bagi perjalanan dan kemajuan teknologi ini. Aku juga sempat menyaksikan pembahasan draft MoU yang cukup alot antara Kak Salim, Kak Agus, Pak Didit dengan Pak Gandhi bersama istri dan putranya, Yourgen, di rumah Kak Tiok di Serpong, Tangerang. Dalam MoU yang telah ditandatangni disebutkan bahwa star pekerjaan dimulai satu minggu setelah hari raya Idul Fitri 1426 Hijriah (meski dalam kenyataannya agak meleset).

Berhubung star pekerjaan dimulai satu minggu setelah hari raya, maka ada kesempatan buat kami untuk mudik berlebaran di kampung halaman. Sebenarnya saat itu aku sebetulnya tidak ingin mudik karena ingin merasakan berlebaran di Jakarta. Namun karena Kak Salim menawariku untuk pulang bersama mereka, aku akhirnya memutuskan berlebaran di kampung kami, Tebing Tinggi, Lahat, Sumatera Selatan. Kami (aku, Kak Salim dan kedua anak beliau, Habit dan Ana) mudik dengan menumpang pesawat Adam Air dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, dengan tujuan Palembang.

Oya, inilah pengalaman pertamaku terbang dengan menggunakan pesawat (uhuy dasar katro!). Terasa benar aku begitu ketar-ketir, apalagi bila mengingat kecelakaan pesawat yang sering terjadi. Dari Kota Palembang kami melanjutkan perjalanan, setelah sempat menginap di rumah salah seorang anggota bernama Ifan di Pakjo, dengan menumpang kereta api tujuan Tebing Tinggi. Begitulah, aku akhirnya berlebaran di kampungku yang tercinta bersama ibu, kakak dan adik-adikku. Oya lagi, hampir terlewatkan. Saat kami hendak naik KA Serelo tujuan Tebing Tinggi di Stasiun Kertapati, Palembang, aku ingat ada seseorang yang dengan tulus mengantar kepergianku dari sana. Dia seorang gadis, adik tingkatku semasa aku kuliah di STISIPOL Palembang tahun 2002-2004. Dia kini sedang menyelesaikan skripsinya. Akhir-akhir ini komunikasi kami memang terjalin lebih erat. Yah, Kota Empek-empek banyak memberi kesan manis kepadaku. Kurang lebih 2 tahun aku tinggal di Palembang menyelesaikan studi S1 Ilmu Komunikasi. Bila ingat Palembang aku selalu teringat teman-temanku yang kini entah dimana. Dan kenangan-kenangan itu tak mungkin kulupa.

Kembali ke ceritaku semula. Singkat cerita, setelah mendapat kabar dari Kak Salim, aku dan Santo akhirnya berangkat menuju lokasi proyek pertama Delta di Leuwiliang, Bogor. Kami berangkat dari kota kelahiranku, Tebing Tinggi hari Jumat 13 Januari 2006 dengan menumpang KA Serelo menuju Kota Lahat. Tiba di Lahat kami langsung menuju rumah salah seorang anggota Delta di Kota Baru. Eka namanya, orangnya agak berbobot, baik dari intelektualnya maupun tubuhnya (hehe). Ia juga seorang yang kukenal supel dan pintar masak. Setelah berpamitan dengan ibu Eka dan Yus (adik Eka), selepas Isya kami menunggu bus tujuan Jakarta. Kami diantar Eka dan Hendra. Malangnya malam itu Kota Lahat lagi diguyur hujan. Setelah menunggu hampir satu jam tak satupun bus yang kosong. Saat itu memang habis lebaran Idul Adha 1426 Hijriah, jadi kebanyakan bus terisi penumpang yang hendak balik dari merayakan lebaran di kampung halaman. Setelah menimbang-nimbang kami akhirnya memutuskan menunda keberangkatan esok harinya dengan menumpang bus Lantra kelas ekonomi. Ongkosnya waktu itu Rp. 110.000 per-orang. Tepat pukul 11 siang kami akhirnya meluncur menuju Jakarta. Alhamdulillah. Akhirnya.

Lega rasanya menikamti perjalanan ini, setelah menunggu hampir dua bulan lamanya. Bagiku ini bagaikan sebuah perjalanan rohani. Perjalanan merajut hari depan, perjalanan mengukir cita dan cinta. Sungguhlan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Kami berangkat dengan semangat dan tekad di hati. Itulah yang membuat kami menjejakkan kaki di sini. Hari-hari di Leuwiliang adalah hari-hari yang penuh makna. Hari-hari yang terukir dengan dua tinta: hitam dan putih. Mungkin saja. Hari-hari yang penuh cerita indah dan buram. Dimana cobaan dan rintangan bagai arus listrik yang menarik-narik untuk membuat kami menyerah dan kalah. Ada-ada saja. Kami banyak belajar satu sama lain. Saling melengkapi dan mengisi. Saling mengingatkan dan menyelami. Saling asah, asih dan asuh.

Tak perlu banyak kuceritakan betapa banyak romantika yang menghiasi perjalanan ini. Bagiku itu cuma untuk melengkapi betapa penuh arti perjalanan kami. Kami tiba di Kampung Kosol sekitar pukul 13.30 WIB. Menatap langit-langit rumah itu, tak terlukiskan betapa senang hati kami. Bentangan spanduk merah putih seolah mengobarkan gelora dalam jiwa. Itulah spiritnya.

Kami disambut hangat oleh inventor, Kak Agus, Kak Tiok yang kebetulan sedang bertandang disana, dan disambut pula suara merdu para Bujang Belantan yang lagi bernyanyi dengan gitar kopong. Di hari pertama menjejakkan kaki di Markas Leuwiliang ini, inventor sampai dua kali mengajak kami berkeliling menyusuri kampung-kampung Leuwiliang dengan menggunakan Kijang pick-up yang disetir sendiri oleh beliau. Sedikit banyak, sembari menikamati lagu country-nya Tantowi Yahya, inventor bercerita tentang kemajuan-kemajuan Delta. Bercerita tentang kondisi geografis Leuwiliang, dan tentang kebiasaan-kebiasaan penduduknya. Sempat pula kami diajak mampir ke rumah keluarga si Mega, mantan pacar si Joko di Leuwisadeng. Rupanya inventor telah banyak kenal dan cukup akrab dengan penduduk di sana. Ia bahkan sudah dipanggil dengan sebutan “ayah” juga. Di rumah Mega aku juga berkenalan dengan Yeyen, Sulis dan Shanti. Itulah pertama kali kukenal gadis-gadis Bogor yang lumayan geulis euy... Hari-hari berikutnya kerap kami mengulangi ‘silaturahmi’ ke Kampung Leuwisadeng dengan atau tanpa Joko. Bagi kami berteman dan bersosialsiasi dengan penduduk sekitar merupakan salah satu cara untuk belajar. Banyak hal. Seperti tentang bahasa asli, adat istiadat, pergaulan muda-mudi, dan ah…kali aja ada yang nyantol di hati hehe…

Leuwiliang adalah salah satu kecamatan yang terletk di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jarak dari Leuwiliang-Bogor kurang lebih menempuh satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Daerah ini sebenarnya daerah yang kaya SDA. Disini terdapat banyak usaha tambang emas baik yang dilakukan oleh penduduk secara sendiri-sendiri, maupun dikelola dalam skala pabrik. Tanahnya juga subur, dialiri oleh sungai yang melimpah dengan material pasir dan batu koral. Disini juga terdapat kampus yang sangat terkenal yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) yang sebetulnya bisa menjadi ‘referensi’ pemanfaatan lahan pertanian bagi penduduk. Tapi seperti daerah lainnya di Indonesia, potensi-potensi yang dimiliki tidak dimanfaatkan secara maksimal. Disini pendapatan penduduk sangat rendah. Rata-rata mereka bermata pencaharian sebagai buruh tani, menggarap lahan seadanya, adapula yang berdagang, atau menjadi pegawai negeri dan karyawan swasta. Tapi itu sangat sedikit. Anehnya, meski terdapat lembaga pendidikan tinggi sekelas IPB namun kesadaran akan pentingnya pendidikan sangatlah kurang. Banyak remaja-remaja yang cuma bisa menempuh pendidikan sebatas SD, yang pada akhirnya menyebabkan banyak terjadinya perkawinan dini dan rata-rata tidak bertahan lama. Sungguh menyedihkan.

Kenyataan ini membuat kami belajar, betapa masih banyak saudara-saudara kita yang masih belum memahami akan pentingnya arti pendidikan. Siapa yang salah? Rasanya tak ada gunanya mencari kambing hitam. Toh kalau diurut-urut, sumber kebodohan bangsa ini adalah kemiskinan. Kemiskinan yang membuat kita bodoh atau kebodohan yang membuat kita miskin? Rasanya kalimat ini duet yang sangat serasi (kalau tak ingin dibilang langgeng) dari jaman kuda gigit besi, hingga jaman “orang makan semen” hehe... Makin terlecut hati kami untuk merealisasikan misi-misi Delta Qualstone tentang kemakmuran, kesejahteraan, lepas dari kebodohan dan keterbelakangan. Bukankah itu bukan sesuatu yang mustahil…?

Seperti dikondisikan dengan kenyataan, kehidupan kami di Leuwiliang sungguhlah dihiasi suka dan suka. Meski begitu kami tetap berusaha menjadikan hari selalu penuh arti. Ya…meskipun yang kami lakukan belum seefektif yang kami bayangkan. Tapi setidaknya kami tidak berdiam saja menanti kesuksesan. Ada-ada saja yang kami lakukan disini. Merancang even, menentukan strategi, menggali lebih jauh pemanfaatan teknologi Delta, mencari solusi, membuat perhitungan yang lebih matang. Semuanya terkadang dilakukan sembari bersenda-gurau dengan ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok yang dijatahi. Bila waktunya tiba, dengan keikhlasan yang mulai terlatih, kami bersujud menengadahkan tangan meminta kepada-Nya. Sering kami juga melatih kemampuan intelektual dengan melakukan percobaan presentasi yang temanya ditentukan oleh Kak Agus, seperti bagaimana membuat denah dan perencanaan pabrik, bagaimana membangun Kota Besemah sebagai kota terindah di dunia, dan masih ada beberapa tema lagi yang belum sempat kami presentasikan. Duh, ini akan menjadi cerita yang indah untuk anak-cucu kami kelak.

Penting untuk dicatat, kami menganggap kehidupan kami di Leuwiliang merupakan ‘kawah candradimuka’. Disini kami dibiasakan berkompromi dengan keadaan. Tak punya uang alias buntu, makan seadanya, mandi terkadang tidak pakai sabun, odol seringlah tidak ada, bon di warung semakin menumpuk, hutang dengan tetangga belum dilunasi, rokok pun terkadang harus ‘daur ulang’. Klikmaksnya telinga kami sering mendengar nada miring penduduk disini tentang kondisi kami yang katanya sudah bangrutlah, hana-hinilah… Ya ampun hehe.. Mudah-mudahan ini menjadi cambuk bagi kami untuk segera merealisasikan cita-cita dan misi kami. Bukankah sedari awal, perjalanan Delta selalu dihiasi dengan cerita suka dan duka? Toh ini belumlah apa-apa ketimbang merasakan bagaimana pahit getirnya Delta ketika di awal-awalnya dahulu? Ketika Delta belum semaju seperti yang kami rasakan sekarang? Tapi yang sangat kami suka disini, meski selalu dihadapkan pada persoalan sehari-hari, para Bujang Belantan tak pernah kehilangan selera humornya. Selalu. Ada-ada saja cerita yang mengundang tawa seperti cerita tentang ‘begadisan’ (baca: percintaan muda-mudi), nonton dangdutan, nonton ‘kera sakti’ rame-rame, atau sekedar jalan-jalan ke sungai di belakang rumah sembari lihat-lihat yang gratisan hehe…

Tak terasa sudah hampir satu bulan aku dan temanku Santo disini. Yang lainnya memang sudah lebih dulu disini, mungkin sekitar 3 bulanan. Hari-hari di Leuwiliang adalah hari-hari yang akan turut menentukan sejarah perjalanan Delta Qualstone Grup. Sering kami dihadapkan masalah internal, mis-komunikasi, mis-persepsi, hingga terganggunya hubungan personal karena cara pandang yang sulit dimengerti, terkadang tidak logis, bahkan mungkin teramat kekanak-kanakan. Syukurlah, kami yang ada disini selalu dalam kerangka kekompakan, kekeluargaan, satu persepsi, dipayungi kepemimpinan, mengutamakan dialog dalam menyelesaikan masalah, meski lagi-lagi kami harus dihadapkan pada persoalan yang bersumber pada satu titik. Tak henti-hentinya kami selalu mengingatkan tentang arti semua yang kami hadapi. Inilah ujian. Inilah bagian dari perjuangan. Semua pasti ada hikmah yang bisa kami petik. Kami yakin itu.

“Seorang petinju menjadi tangguh bukan karena dibelai dan dielus, namun karena dipukul dan dihajar.” Ini kata-kata yang kukutip dari sebuah buku motivasi karya Hari Subagya yang kupinjam dari Kak Agus. Bahwa siapa yang berjalan hanya ke arah yang benar, tidak akan menemukan banyak jalan. Nilai dari sebuah keberhasilan dibangun dari kesulitan dan jalan-jalan terjal. Berjalanlah terus, walaupun tidak memiliki arti, walaupun Anda tidak melihat adanya kemajuan nyata. Tetaplah berjuang. Anda akan segera melihat hasilnya.

I’m a great believer in luck and I find the harder I work, the more I have of it.” - Thomas Jefferson