Kamis, 24 Januari 2008

Polemik di Balik Sakitnya Pak Harto


Seberapa Perlu Memaafkan Beliau?

Berita mengenai sakitnya mantan Presiden Soeharto akhir-akhir ini banyak menghiasi pemberitaan di media massa. Seiring dengan itu, polemik maaf-memaafkan dan soal status hukum bagi mantan penguasa Orde Baru itu juga ikut mengemuka.

Blogger, kalau kita perhatikan media massa akhir-akhir ini, selain isu mengenai politik, bencana alam, impor kondom bekas, aliran sesat, kelangkaan minyak tanah, kenaikan harga kedelai dan kebutuhan pokok lainnya blablabla, isu lain yang tak kalah hangat dibicarakan saat ini adalah soal sakitnya Pak Harto.

Sebegitu pentingnya pembahasan mengenai sakitnya Pak Harto, hingga membuat para ‘kuli tinta’ rela menunggui rumah sakit tempat beliau dirawat sekedar mengetahui perkembangan kesehatannya. Sampai-sampai media perlu juga melakukan investigasi ke pemakaman keluarga Pak Harto di Solo, hingga mewawancarai paranormal segala. Hmm sakitnya saja sudah sebegini heboh, bagamaina kalau--misalnya--beliau meninggal yah?

Di luar sakitnya Pak Harto, kita ketahui terjadi pro dan kontra di masyarakat atas kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat Pak Harto semasa ia menjadi presiden. Perlukah masyarakat memaafkan beliau? Perlukan proses hukum atas ‘Bapak Pembangunan’ dilanjutkan meski beliau dalam keadaan sakit?

Secara kemanusiaan, kita tentu sepakat untuk memafkan sajalah bapak kita ini. Terlepas dari banyaknya kesalahan, kita juga tidak bisa mengabaikan begitu saja jasa-jasa beliau bagi bangsa ini. Toh berbicara dosa tentunya urusan masing-masing dengan Tuhan. Tapi kalau soal hukum saya sepakat harus diselesaikan menurut mekanisme yang berlaku. Ini sebagai pembelajaran bahwa hukum di negara ini memang tidak pandang bulu mau dia rakyat jelata atau mantan presiden sekalipun.

Jujur, secara pribadi saya sungguh sangat prihatin dengan kondisi Pak Harto. Melihat paras rentanya yang sakit-sakitan, yang dikejar-kejar oleh sorotan kamera wartawan, seperti tak pernah terbayangkan akan seperti ini saat melihat beliau berkuasa dahulu. Selama berkuasa ia seperti tak tersentuh (untouchable), gagah perkasa seolah tak mengenal kata ‘lemah tak berdaya’. Sayangnya kini beliau benar-benar menjelma bak bayi yang tak berdaya.

Ini pelajaran bagi siapa pun, terlebih bagi seorang pemimpin. Bahwa kekuasaan tidak pernah abadi. Bahwa kepemimpinan merupakan amanah yang harus kita pertanggung jawabkan. Rasulullah Saw bersabda: ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahuallam.