Kamis, 04 Oktober 2007

Cerpen "Tragedi di Sungai Musi"


Tragedi di Sungai Musi
Sebuah Cerita Pendek

Sinaps: Kisah seorang gadis desa bernama Marni yang hidup di pinggiran Sungai Musi, sungai besar yang membelah Kota Palembang. Kisah yang berakhir tragis di antara hening Sungai Musi dan gemuruh sebuah pesta rakyat: organ tunggal!

****

WANITA itu, Marni namanya, mengelus-elus rambutnya yang panjang sampai menjela bahu. Matanya yang bulat memandang keindahan Sungai Musi yang masih ditutupi kabut tipis. Pagi itu, entah pagi yang ke berapa, Marni kembali melakukan aktivitasnya.

Sepagi itu, Marni terbiasa melakukan kebiasaannya. Bangun subuh-subuh sekali untuk membantu ibunya membuat jajanan warung, mencuci, lalu mandi di sungai yang membelah Kota Palembang.

Marni membetulkan letak kain mandi yang membelit tubuhnya. Hati-hati dituntunnya kaki menuju rakit. Selesai mandi ia harus segera mengantarkan kue-kue yang dibuat ibunya, sebelum anak-anak berangkat sekolah. Dan sepagi itu, Marni hanya sendiri.

Meski dinginnya Sungai Musi bagai mencucuk tulang, bukan hambatan baginya untuk menceburkan diri ke dalam sungai. Rasa segar setelah mandi sangat terasa manfaatnya. Dari bibirnya yang mungil terdengar senandung kecil. Hitung-hitung menghibur diri dari sergapan dinginnya Sungai Musi.

Marni merasa apa yang dirasakannya merupakan rahmat dari Tuhan. Meski cuma tinggal di pinggiran kota, jarang ia dapat bercengkrama secara leluasa dengan alam. Ia pun menyadari kebiasaannya mandi pagi-pagi sekali itu, merupakan pilihan yang tepat. Tepat karena bila saja ia mandi agak siang maka sungai yang jernih itu sudah tidak asli lagi. Tangan-tangan manusia sudah mulai mencemari sungai dengan berbagai limbah dan kotoran.

Ia merasa sedih, sungai yang menjadi salah satu sandaran hidup banyak orang kini telah tercemar dimana-mana. Padahal, sungai itu sendiri dimanfaatkan oleh banyak orang untuk berbagai keperluan seperti mandi dan mencuci. Sungai juga tempat habitat banyak ikan yang bisa dimanfaatkan untuk santap sehari-hari. Tapi kini, sulit menemukan kondisi sungai yang bersih selain sepagi itu.

Marni ingat kata-kata gurunya di SMU dulu. Gurunya mengatakan kebiasaan masyarakat membuang sampah dan kotoran di sungai sulit dihilangkan karena sudah dilakukan sejak dahulu. Semacam sudah menjadi tradisi. Di samping memang karena berbagai faktor seperti kemiskinan dan kurangnya pemahaman masyarakat akan budaya hidup bersih. Toh, meski berbagai macam alasan, Marni tetap tak habis pikir dengan kebiasaan masyarakatnya yang kurang sehat itu.

Satu kali Marni pernah membaca artikel di sebuah koran lokal tentang budaya dan perilaku masyarakat di luar negeri. Sungai-sungai di sana benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kenyamanan warganya. Selain dijadikan air baku untuk air minum, sungai di luar negeri juga dikelola sebagai tempat wisata. Hukum pun benar-benar ditegakkan bagi mereka yang mencemari sungai. Ujung-ujungnya, dengan pengelolaan yang baik tak hanya pemerintahnya yang senang, warga pun merasakan manfaatnya.

Tak mau berlama-lama dengan pikirannya, Marni segera saja menyelesaikan mandinya membasuh tubuh dengan sabun wangi. Tak hanya itu, berendam lama-lama nanti bukannya menyegarkan malah mendatangkan penyakit.

Marni mengangkat tubuhnya yang basah ke atas rakit di pinggir sungai. Agak kaget ia melihat orang yang datang. Orang itu tak lain Zainal, lelaki yang di kampungnya dikenal dengan julukan si hidung belang. Maklum, sudah punya anak isteri tetapi gemar menggoda anak gadis orang. Tiba-tiba perasaan Marni jadi tidak enak. Terlebih dengan sepinya suasana pagi itu.

“Selamat pagi manis,” ujar Zainal, bibirnya menyungging sebuah senyuman nakal.

Marni segera menyadari keadaan dirinya. Kain mandinya yang basah benar-benar seperti mencetak lekuk-lekuk tubuhnya yang molek. Gadis itu tidak ingin keadaanya itu menimbulkan pikiran-pikiran jorok dalam diri lelaki itu.

“Aduh sombongnya. Sendirian saja ya?“ kembali suara si lelaki terdengar, seolah ingin secepatnya minta ditanggapi.

Marni hanya melempar senyum kecut sekedar membalas sapaan orang. Dia lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Entah, ia tiba-tiba merasa risih. Apalagi sambil berlalu tadi masih sempat dilihatnya pandangan liar lelaki itu yang seolah hendak menelannya.
****

Hari demi hari dilewati Marni seperti biasa. Bangun pagi-pagi sekali untuk membantu ibunya, lalu merasakan nikmatnya belaian air sungai yang menyejukkan.

Nun di tempat lain, tanpa disadari si gadis, sepasang mata liar milik Zainal selalu mengawasi gerak-geriknya. Hati lelaki berusia 35 tahun itu rupaya telah tertambat dengan kemolekan tubuh Marni. Timbul pikiran-pikiran jorok dalam diri Zainal.

Kepala Zainal pusing. Dan jawaban dari semua itu adalah Marni.
****

Malam itu bulan sepertinya sedang menunjukkan pesonanya. Marni bukannya tak menyadari itu. Dari tadi ia bersenandung riang di teras rumahnya sembari menikmati bulan yang malam itu begitu sempurna.

Puas menikmati pemandangan malam, Marni lalu masuk ke dalam kamarnya. Ia kini asyik mematut diri di depan cermin. Sendiri.


Marni sering mendengar pujian dari orang lain mengenai dirinya. Mereka bilang ia gadis yang cantik dan rajin membantu orang tua. Jujur saja, Marni bukannya tidak bangga dengan segala macam pujian itu. Hatinya berbunga.

Ia bersyukur atas anugrah yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sebisanya Marni memelihara kecantikannya dengan menjalani hidup bersih dan sehat. Itu saja rahasianya.

Sebagai kembang desa, Marni sering dicap sombong oleh banyak lelaki lantaran menolak cinta ataupun pinangan mereka. Padahal, ia hanya mencoba bersikap jujur kepada para pemuda itu. Ia sudah memiliki tambatan hati. Seorang pemuda baik hati yang kini sedang bekerja di Malaysia. Seorang TKI. Bagaimana mungkin ia mengkhianati cinta kekasihnya?

Dua tahun lalu, sebelum kekasihnya berangkat ke Negeri Jiran, mereka telah berikrar untuk menjaga cinta suci mereka. Sepulangnya nanti, sang kekasih telah berjanji untuk menyunting dirinya sebagai isteri.

“Sepulangnya Abang nanti, Abang janji akan melamar Marni,” begitu janji sang kekasih.

Teringat kata-kata itu Marni jadi tersenyum sendiri. Seketika rindu menyergap dirinya. Kalau sudah begitu, foto sang kekasih di sudut kamar menjadi pelabuhan berbagai rasa yang membuncah hatinya.

Berada dalam suasana rindu berat, membuat Marni terkaget tatkala mendengar ketukan pintu kamarnya. Pasti sahabatnya Tika, pikir Marni. Malam itu, mereka memang sudah janji menonton orgen tunggal di ujung kampung.

Sebenarnya Marni merasa sungkan mengingat acara seperti itu bukanlah acara yang baik untuk gadis seperti mereka. Tapi karena desakan sahabatnya, Marni akhirnya tidak bisa menolak. Apalagi mereka sudah sepakat untuk tidak berlama-lama di sana. Tak apalah, hitung-hitung sebagai hiburan dari pada terus-terusan disiksa rindu pada sang kekasih.
****

Selesai berdandan seadanya, Marni lalu pamit pada orang tuanya. Ibunya wanti-wanti agar ia jangan terlalu larut pulang dari sana. Mereka berangkat dari rumah sekitar pukul 20.30.

Setibanya di sana acara resmi ternyata baru saja dimulai. Marni dan Tika dipersilahkan duduk di kursi undangan yang masih kosong. Di atas panggung, terdengar kata sambutan bernada basa-basi dari ahli rumah. Lelaki yang menyampaikan pidato seadanya itu mengungkapkan acara itu diadakan dalam rangka syukuran atau selamatan salah satu keluarga yang baru saja dilantik sebagai anggota Bintara Polri. Seluruh keluarga malam itu tampak sukacita, termasuk si polisi muda yang duduk paling depan di kursi undangan. Marni mengenal pria muda itu. Seorang sahabat kecilnya yang pernah menyatakan cinta kepadanya.

Setelah acara resmi selesai, acara berlanjut ke acara hiburan. Acara yang paling banyak dinanti. Seorang biduanita membuka acara hiburan dengan nomor-nomor lagu pilihannya. Suara musik dangdut sontak membahana. Seorang lelaki tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan lagak seorang jawara ia menyawer sang biduan yang berpakaian dan bersuara seksi.

Marni mengenal orang yang menyawer si biduan. Ia tak lain si lelaki hidung belang Zainal. Dari atas panggung mata lelaki itu mengerling ke arahnya. Dari tadi rupanya Zainal memperhatikan kehadiran Marni di acara tersebut. Dan Marni bukannya tak memperhatikan hal itu.

Belum pukul sepuluh Marni lalu mengajak Tika pulang. Ia jengah berada di tempat seperti itu. Apalagi dilihatnya orang-orang banyak yang mabuk. Belum lagi pandangan jalang si Zainal. Lengkap alasannya untuk lekas-lekas pulang ke rumah.
****

Dalam perjalanan pulang, Tika tiba-tiba bertemu Tono, pacarnya. Karena rumahnya sudah tidak terlalu jauh, dan lagi Marni tidak mau mengganggu pasangan yang sedang dimabuk asmara itu, ia lalu memutuskan pulang sendiri. Dan, justru di sinilah petaka itu dimulai.

Marni tak menyadari sepasang mata membuntutinya sejak ia dan Tika memutuskan pulang. Mata itu merah. Bau alkohol tercium dari mulutnya yang menyunggingkan seringai. Terlebih saat mengetahui Marni kini sendirian.

Kejadian itu begitu cepat. Ketika melewati pengkolan jalan gang rumahnya yang memang agak gelap, Marni merasakan tangan kekar mendekapnya dari belakang. Dia mau berteriak minta tolong, tetapi mulutnya sudah disumpal orang dengan sapu tangan. Hidungnya mencium bau sesuatu yang begitu menyengat. Entah bau apa, seperti bau obat. Napas gadis malang itu megap-megap. Sejurus kemudian ia sudah tidak sadar lagi apa yang telah terjadi atas dirinya.
****

Lelaki itu menatap mangsanya yang tergolek tak berdaya di semak-semak pinggir sungai. Bibirnya mengumbar seulas seringai kemenangan. Napasnya turun naik dikuasai hawa nafsu dan alkohol. Tanpa tunggu lebih lama si lelaki menggagahi tubuh Marni yang tergolek tak berdaya. Tidak cukup hanya satu kali, gadis malang yang belum lagi sadar dari pingsannya itu diperkosa berulang kali.

Malam itu, di pinggir Sungai Musi yang beriak kecil telah terjadi peristiwa kebiadaban anak manusia. Tak begitu jauh dari sana, penduduk mulai ramai menabuh kentongan tanda terjadi sesuatu yang tidak beres. Yah, sesuatu yang tidak beres malam itu adalah raibnya seorang gadis yang beberapa saat lalu habis menonton acara organ tunggal di kampung itu.

Dan malam itu serasa lebih panjang bagi para penduduk, terutama keluarga si gadis yang tak lain adalah Marni. Mereka sibuk mencari Marni ke sana kemari.

Keesokan harinya, saat sinar matahari mulai menerpa wajahnya, Marni tiba-tiba tersadar dari pingsannya. Yang pertama kali dirasakan gadis itu adalah perih di bagian bawah tubuhnya. Dilihatnya pakaian yang ia kenakan berserakan di mana-mana.

Menyadari apa yang telah menimpa dirinya, Marni menjerit sekuat yang bisa dilakukannya. Beberapa orang penduduk yang mendengar jeritan gadis malang itu tergopoh-gopoh mencari sumber suara.

Mereka menemukan seorang gadis yang sedang menangis di atas perahu yang tertambat di tepian Sungai Musi. Ya Tuhan, gadis itu Marni. Gadis yang tadi malam dikabarkan hilang setelah menyaksikan acara pesta organ tunggal!

Dimuat di Harian Sriwijaya Post Minggu, 19 Januari 2003

Banyak Belajar dari Kesulitan


Bermain Kolecer Jadi Kegiatan yang Menyenangkan
Catatan perjalanan Teknologi Delta Qualstone di Leuwiliang-Bogor ***3


Hidup adalah sebuah proses. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan. Tapi kita punya keyakinan. Dan keyakinan itulah yang membuat kami bertahan meski dalam kondisi sesulit apapun. Catatan ini kurangkum dari tanggal 14 Maret-14 April 2006 --(sebelum membaca tulisan ini disarankan untuk membaca "Sang Mpu Pergi Meninggalkan Kami" -bagian tiga dari tiga tulisan).

* * * *
Sebuah Renungan

Catatanku kali ini kuawali dengan sebuah pertanyaan besar. Mungkin. Di setiap sudut pandang individu, yang kebanyakan masyarakat dalam wilayah persinggahan orang-orang Delta. Juga orang-orang di sekitar Delta, sahabat, bahkan tak sedikit dari anggota keluarga, yang menurutku belum sepenuhnya memahami arti perjalanan ini. Mengapa orang-orang seperti kami, yang dintaranya memiliki potensi di bidangnya masing-masing, rela “menyia-nyiakan” waktu demi sesuatu yang belum tampak hasilnya. Bahkan bagi yang sudah berkeluarga, sanggup meninggalkan anak dan istri hingga berbulan-bulan lamanya. Sungguh. Semua itu rela ditinggalkan. Ada Apa dengan Kita?

Tak bisa kujelaskan secara gambalang. Tapi, sebelum pertanyaan-pertanyaan di atas coba kujawab, aku ingin mengingatkan tentang karakter masyarakat kita pada umumnya, yang pada galibnya telah kita mafhumi bersama. Tapi ini bukan untuk sok tahu. Cuma untuk menyegarkan ingatan kita bahwa telah menjadi kultur masyarakat kita bahwa sesuatu terkadang lebih berat dinilai dari sudut pandang penghasilan (income) yang diperoleh seseorang. Jamak kita tahu bahwa keberhasilan lebih dilihat dari seberapa besar seseorang punya sesuatu secara materi. Kasarnya ia punya penghasilan pasti dari pekerjaan yang dilakoni. Apakah pegawai negeri, swasta, anggota DPR, pedagang, tukang parkir, satpam dan sebagainya. Umumnya semua jenis pekerjaan tersebut secara penghasilan punya limit waktu berjangka: harian, mingguan, dwi-mingguan atau bulanan.

Logika bekerja dan mendapat penghasilan seperti ini adalah sangat masuk akal dan tidak ada yang bisa membantahnya. Inilah yang selama berpuluh-puluh tahun telah menjadi semacam ‘nilai’ yang terpola dengan begitu presisinya. Mungkin salah, bisa juga benar, itulah pendapatku. Toh semua itu dikembalikan kepada pribadi masing-masing.

Lalu, adakah hubungannya pendapat di atas dengan pekerjaan yang kami lakukan? Ada saja. Karena tak sedikit dari kami (angggota Delta Qualstone Grup), yang karena keterlibatan dan konsekuensi yang harus diterima seringkali dianggap individu yang tidak punya pertimbangan, tidak perhitungan, egois, bahkan tak sedikit yang dianggap sudah gila. Walah! Lagi-lagi pendapat seperti ini kuanggap wajar. Mungkin karena mereka belum sepenuhnya memahami. Atau mungkin mereka melihat dari kacamata pekerja kebanyakan, yang bekerja langsung dapat uang.

Benar bahwa hidup memang harus dihadapkan pada persoalan keseharian seperti makan, kontrakan, listrik, air, punya rumah sendiri, kondangan, pendidikan atau pergi berlibur kemana kek: Taman Safari, Gunung Leuser atau ke Ujung Kulon. Tak melulu soal akan seperti apa hidup kita lima atau sepuluh tahun ke depan, meski hanya sedikit yang berpikir jauh seperti ini. Boro-boro mau memikirkan kapan kira-kira utang Negara ini bisa dilunasi? Serta apa yang bisa dilakukan untuk memberikan sesuatu yang berarti bagi kemajuan bangsa dan Negara. Minimal bisa menjadi yang terbaik buat diri sendiri dan keluarga saja, rasanya sudah cukup. Tapi sebentar. Bisakah kita berubah dari apa yang kita pikirkan hari ini? Tentu bisa.

Ada lagi sebuah pendapat yang mengungkapkan fakta berikut ini. Tanpa disadari kebanyakan dari kita, mungkin juga penulis sendiri, masih terobsesi dengan paham ‘pekerja-isme’ warisan kaum penjajah. Mental pekerja memang lebih baik dari mental pemalas. Tapi mungkin pesannya bukan itu. Sepatutnya kita memang harus berkaca dari Negara yang sudah lebih maju dari kita. Kita patut prihatin dengan para pemimpin kita yang tak pernah beres membawa bangsa ini menjadi lebih baik. Hasil yang paling terlihat dari pemimpin kita setelah maupun ketika masih menjabat adalah menggelembungnya pundi-pundi kekayaan. Bukan kesuksesan mereka membawa amanah yang dipikul. Bayangkan, era reformasi yang sebentar lagi akan memasuki usia 10 tahun, belum juga mampu mengikis budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita, dan terutama para pemimpin kita masih larut dalam eufhoria mencari kestabilan diri, pribadi dan keluarga sendiri. Parahnya, kebobrokan mental pemimpin, diperparah dengan rendahnya kesadaran yang dipimpin untuk bangkit dan maju tanpa harus menunggu berkah para pemimpin (pemerintah). Begitulah kondisinya. Memang sedikit yang mau bersusah, dan meyakini sesuatu meski harus dimulai dari kondisi nol dan tanpa arti apa-apa. Entah, mungkin karena hanya sedikit yang berjiwa pelopor dan pendobrak pakem. Makanya, kata orang-orang pintar, bangsa ini sulit untuk maju bukan karena kemiskinan sumberdaya alamnya, tetapi lebih kepada miskinnya sumber daya manusianya. Coba, logika manakah dipakai saat kita menjual bahan baku seperti kulit, karet, tembaga, besi, timah dan sebagainya, yang kita ekspor ke luar negeri, justru yang kembali ke kita adalah barang-barang siap pakai dari negara-negara yang membeli hasil bumi kita. Ironis kan? Sumberdaya melimpah, tapi tidak diimbangi dengan daya saing di bidang sumberdaya manusianya.

Sekedar membongkar kembali kesuksesan perjalanan orang-orang hebat, bolehlah kita mengulik kisah-kisah tentang kesuksesan anak masnusia di muka bumi ini. Bukankah, kisah-kisah orang besar selalu dipenuhi berbagai romantisme, kontradiksi, intervensi, resistensi, yang semuanya menjadi pengiring setia berabad-abad lamanya. Bagi yang tak kuat tentu akan tersingkir dan ditelan masa. Bagi yang memiliki keyakinan dan ketekunan hebat akan memetik buah yang dicita-citakan. Bahkan sejarah akan mengenangnya dengan tinta emas. Kisah kerasulan Nabi Muhammad SAW yang diiringi kebencian dan penolakan bahkan dari keluarga dan kaumnya sendiri, pun kisah keilmuan Albert Einstein yang dianggap gila oleh masyarakatnya, atau kisah sukses raksasa bisnis software dunia Bill Gates, yang menjadi milyuner di usia yang belum 30 tahun. Toh semua itu tidak selalu melewati jalan-jalan mulus. Selalu dipenuhi liku, dibanjiri keringat dan berbagai macam rintangan, bahkan tak sedikit harus dibayar mahal dengan darah dan air mata. Hikmah yang mungkin bisa dipetik adalah spririt juang dan pelajaran ketahanan mental yang luar biasa demi mencapai apa yang telah menjadi keyakinan pribadi.

Kembali mengenai pertanyaan besar di awal pembahasan ini. Apa gerangan yang membuat orang-orang Delta begitu yakin, hingga harus tahan menderita, menghadapi konsekuensi yang sering dianggap tidak logis dan sia-sia? Bagi kami, tentu alasannya tak sekedar dari hitungan mate-matis. Banyak hal yang membuat kami merasa yakin akan teknologi yang kami perjuangkan. Tapi kembali lagi, bila parameternya dari hitungan mate-matis, kami juga tak bisa menampiknya. Toh, terkadang tak selamanya keyakinan tumbuh dan berkembang hanya dari satu aspek alasan.

Meski belum dibakukan secara formil, telah terpikirkan ide untuk membentuk Keluarga Besar Basma (KBB), sebagai wadah kesatuan orang-orang yang telah berjasa dan berandil bagian terhadap pengembangan Teknologi Delta Qualstone. Soal bagaimana teknis pengaturan dan pembagian peran nanti, tentu hanya orang-orang tertentulah yang mempunyai hak untuk mengaturnya. Yang jelas sudah lebih dari 100 orang yang telah melibatkan diri untuk turut membangun cita-cita Teknologi Delta Qualstone.

Dalam konsepnya, KBB direncanakan merupakan pusat kebijakan pengelolaan dan kepemilikan lisensi Teknologi Delta Qualstone atau TDQ. TDQ adalah sebuah temuan teknologi baru di bidang fisik konstruksi ter-mutakhir yang ditemukan oleh putra terbaik bangsa. Teknologi ini dikembangkan secara bisnis dengan sistem lisensi waralaba dengan pasar dunia seperti halnya CFC, KFC, McDonald, Donkin Donuts, bahkan acara televisi paling popular di tahun 2005 seperti Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dan Indonesian Idol dikembangkan dengan sistem serupa. Tentu, jika kita berbicara income sebuah Negara asal pemilik lisensi yang baru segelintir disebutkan itu, bayangkan berapa juta dolar uang Negara miskin seperti Indonesia, yang seharusnya digunakan untuk pembangunan mengalir bak air bah ke Negara-negara asal lisensi yang dibeli tersebut.

Tapi kita patut bersyukur, di tengah keringnya kreatifitas di bidang keilmuan, kini di negeri ini telah hadir sebuah temuan teknologi terbaru, yakni Teknologi Delta Qualstone yang mulai memperkenalkan dan menyiapkan bisnis waralaba untuk pengembangan dan pemasaran produk yang memang digali dari kekayaan bumi Indonesia. Bila rata-rata bisnis lisensi bergerak dalam bidang makanan dan entertainmen sudah sedemikian hebatnya, bayangkan betapa dahsyat sebuah bisnis berbasis teknologi yang memang menjadi dasar kebutuhan pokok manusia yaitu tempat tinggal, dikembangkan pula dengan sistem waralaba?

Jadi, saat kubaca kembali proposal penawaran investasi TDQ dengan bunyi kalimat: “Kami berani dan dengan bangga menampilkan produk teknologi andalan Indonesia yang bisa menaikkan harga diri bangsa di mata dunia internasional. Kami punya keyakinan bahwa melalui perwujudan teknologi inilah akan dibangun infrastruktur perekonomian Indonesia. Seluruh mega-proyek pembangunan TDQ mengarahkan visi dan misi ke depannya disesuaikan dan sejalan dengan orientasi dan tujuan pembangunan nasional (going concern concept). KBB-TDQ siap menjadikan Indonesia sebagai pusat distributor lisensi dan franchise produk TDQ untuk pasar global. Dari penjualan sistem lisensi beserta multi flier effect yang ditimbulkan, akan membawa Indonsia mempunyai potensi ekonomi yang tak kalah dengan negara maju di dunia.” Begitulah. Mungkin sedikit banyak ada benarnya.

Keyakinan ini semata bukan gambaran yang penuh mimpi dan mengada-ada. Bagi kami, ini merupakan gambaran yang sangat logis dilihat dari kacamata kebutuhan, keunggulan dan hitungan mate-matisnya. Sebagai ilustrasi dan analisa pasar yang kami lakukan, Indonesia membutuhkan setidaknya 200 juta pcs produk TDQ per-hari untuk pembangunan fisik konstruksi (estimasi dari perhitungan produk sejenis yang konvensional). Bila royalty franchisor (pemilik lisensi) adalah Rp. 300 per-satuan barang (pcs), maka Rp. 300x200 juta pcs = Rp. 60 milyar per-hari atau Rp. 1,56 trilyun per-bulan. Bagaimana kalau kita bicara dunia? Dari perhitungan kami, pasar dunia membutuhkan sedikitnya 5 milyar pcs produk TDQ per hari. Bila royalty fee untuk tingkat dunia adalah Rp. 1000 per pcs, maka 5 milyar x Rp. 1000 = Rp 5 trilyun per hari atau Rp. 130 trilyun pe rbulan. Kemana uang sebanyak itu mengalir? Kepada siapa lagi kalau bukan kepada franchisor. Dan tentu saja income sebesar ini akan menjadi sumbangan devisa terbear bagi negara di sektor pajak. “Dengan income sebesar itu
Indonesia bisa terbebas dari belitan utang yang mencapai Rp. 1000 trilyun, dalam waktu yang tidak terlalu lama,” begitulah kira-kira.

Logika yang agak sulit dimengerti kan? Memang semua itu sebatas di atas kertas. Lebih jauhnya, tentu harus ada riset yang lebih mendalam dan pembuktian pasar yang lebih konkret. Tapi minimal, atau setidaknya, itu yang menjadi dasar pemikiran teknologi ini. Itulah yang menjadi roh dan spirit yang tetap hidup (survive) dalam setiap jiwa mereka yang terlibat di teknologi ini. Sebuah pencapaian maksimal yang masih harus terus diperjuangkan. Yup, meski untuk itu harus melewati berbagai persoalan dan pendakian yang terjal dan beresiko tidak kecil.

Time flies like an narrow

Akan datang suatu masa ketika kegembiraan menjadi bunga dari keyakinan dan ketekunan pantang menyerah. Akan datang. Lihatlah matahari yang terbit di ufuk timur. Selalu memancarkan semangat dan tak pernah lelah “memberi” tanpa mengharapkan “menerima”. Atau lihatlah ketika bulan yang manis dengan cahayanya yang pudar namun kuat. Mereka menantikan kita berubah. Menjadi lebih baik dari hari kemarin. Itu sisi lainnya.

Ada lagi, mungkin, satu pertanyaan besar yang selalu menggelayut di benak kami, dan semuanya yang menanti dan menunggu sekuel ini adalah: kapan cita-cita besar ini bisa terealisasi? Sulit menjawabnya. Secara logika harus tidak pernah lelah bekerja dan berusaha. Tapi satu hal yang selalu kami yakini bahwa kunci dari meledaknya pekerjaan ini adalah launching perdana untuk mengenalkan teknologi ini kepada masyarakat dan kalangan investor. Nah, inilah yang sekarang sedang kami perjuangkan. Melewati segala macam cobaan dan rintangan dengan segala pernak-pernik dan beragam rasa yang ditawarkan. Wuih…

Spirit lainnya yang menjadi penyerta perjalanan ini, selain cita-cita menangajak umat selalu bersyukur kepada Sang Pencipta, adalah berhubungan dengan keunggulan TDQ secara teknik, terutama inspirasi temuan TDQ yang menurut penemunya, merupakan petikan Al-Quran yang menjadi pedoman umat Islam di seluruh jagad raya. Bahwa ada sebuah al-hadist yang berbunyi: “Barang siapa dapat mengungkap misteri tentang batu, maka akan muncul sembilan macam sumber kehidupan mahluk di muka bumi.” Ditambah magnet bangunan konstruksi pertama di dunia yaitu Kaabah di Mekkah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Dan juga inspirasi bangunan-bangunan candi yang banyak terdapat di Nusantara yang hingga kini, beberapa diantaranya masih berdiri kokoh. Itulah semacam mantra dan hikayat suci yang menjadi keyakinan keberadaan teknologi ini. Maski agak sulit dicerna logika, tapi begitulah adanya.

Makanya tak terlalu berlebihan bila diantara kami sering muncul angan-angan di sela-sela obrolan santai hari-hari. Banyak hal. Terutama masa depan. Dan sedikit banyak obrolan-obrolan santai tersebut telah tertuang dalam semacam AD/ART seperti mengenai prilaku, tentang bisnis, pembagian hak, pendirian perumahan keluarga dan sebagainya. Diluar itu, masih dalam obrolan oge, banyak diantara kami yang mempunyai angan-anagn memiliki sesuatu yang berupa materi dan kebendaan. Namun itu bukanlah semata-mata cita-cita utama. Materi hanyalah sedikit dari banyak aspek yang melandasi keterlibatan ini. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana upaya yang kami lakukan dapat sebanyak-banyaknya mendatangkan manfaat bagi orang banyak.

Seperti itulah kiranya, sedikit jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan besar, yang mungkin masih menggelayut di benak banyak orang tentang teknologi ini. Mudahan-mudahan ulasan di atas bisa memberikan sedikit gambaran. Mungkin ini cuma mimpi? Biarlah, toh kata orang-orang besar, kalau kita ingin sesuatu, bermimpilah terlebih dahulu sebelum kita benar-benar menggapai apa yang kita impikan. Tapi bagi kami, hal ini bukan sekedar mimpi, karena kami berangkat dari keyakinan yang kuat. Ibaratnya begini, seorang petani harus menanam bila ingin memanen. Bila ingin mendapatkan hasil yang terbaik maka, maka harus disertai dengan pupuk, ilmu, sedikit kenekatan, kerja keras dan pantang menyerah. Begitu kira-kira.

Oya, sebagai pelengkap catatan ini, ingin kutuliskan pula mengenai gambaran keseharian kami pada minggu-minggu terakhir ini. Makin banyak tantangannya. Lagi-lagi hal yang paling utama adalah persoalan dengan Pak Gandhi, investor kami. Terutama soal rencana-rencana awal seperti yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang jauh dari harapan. Juga soal biaya hidup kami di Leuwiliang yang telah dikurangi. Padahal, untuk ukuran 10 orang, uang yang dikirm Pak Gandhi sangatlah tidak mencukupi. Terpaksa kami, lagi-lagi harus mengencangkan ikat pinggang. Tapi itu tadi, terjadinya rasionalisasi di bidang anggaran, membuat bon di warung bertambah bengkak. Ya ampun. Malahan di minggu-minggu terakhir, bon di warung sudah mencapai nominal yang paling tinggi, selama riwayat ngutang kami di sini, hampir Rp 2 juta!

Tentu saja, kondisi ini menjadikan pekerjaan kami terasa lebih berat, terutama bagi teman kami si Erick yang bertugas mengurusi pasokan kebutuhan sehari-hari. Tentu bukan sesuatu yang ringan untuk meyakinkan orang dalam kondisi yang terus-terusan meminta tenggang waktu. Tapi entah bagaimana pendeketan yang dilakukan teman kami Erick, ia selalu bisa meyakinkan Teh Lis, pemilik warung. Dan lagi-lagi untuk makan hari-hari, kami bisa diselamatkan oleh kebaikan Teh Lis, dan juga kerja keras saudara kami, si Erick. Duh, untung masih ada orang baik seperti Teh Lis yah? Kalau tidak, entah bagaimana nasib kami di Leuwliang.

Tapi pernah juga terjadi semacam ungkapan kekesalan Teh Lis. Ini wajar saja karena uang yang seharusnya bisa diputar untuk modal tertahan oleh utang yang belum kami bayar selama lebih dua minggu ini. Bukannya tidak mau membayar, karena memang kondisi kami yang tidak memungkinkan. Pernah ada satu hari si Erick tidak pergi ke warung seperti biasanya. Mana uang di saku sudah tidak tersisa. Memaksa hari itu kami memasrahkan diri dengan keadaan. Tidak ngopi pagi-pagi seperti biasanya, apalagi untuk sekedar sarapan ecek-ecek. Sempat kami berpikir, hari itu kami tidak akan menyentuh nasi. Namun Tuhan rupanya mendengar rintihan kami. Tak disangka, datang kiriman makanan dari tetangga di seberang rumah. Itu loh rumahnya bapaknya Aie, pacar salah satu teman kami yang bernama Julis alias Jo. Alhamdulillah….

Ada lagi kisah yang menyangkut pemakaian listrik. Masalahnya kami belum membayar rekening listrik selama empat bulan. Ini terjadi beberapa hari yang lewat sebelum catatan ini usai kutulis. Petugas PLN datang untuk memberitahukan masalah tunggakan yang belum dibayar, bahkan berniat akan mencabut listrik di rumah hari itu juga. Ada-ada saja jalan yang ditunjukkan oleh Yang Kuasa. Tiba-tiba Pak Haji Edi, pemilik rumah yang kami kontrak, bertamu ke rumah. Nah, kebetulan Pah Haji Edi mengenal petugas PLN yang aku lupa namanya itu. Alhamdullillah, berhubung kenal, akhirnya petugas PLN masih memberi tempo selama satu minggu dimuka. Bahkan denda-denda yang mencapai jutaan rupiah yang seharusnya kami bayar, bisa dielemimir dengan batuan Pak Haji Edi. Mungkin inlah hikmah bila kita baik dengan orang lain. Orang juga akan membalas kebaikan kita dengan faedahnya. Amin.

Banyak lagi kemudahan-kemudahan yang ditunjukkan oleh Tuhan kepada kami. Disamping perkembangan yang terus kami jajagi. Semuanya memberikan kami pelajaran dan hikmah yang luar biasa. Kisah-kisah sepele seperti ini tentu tak hendak kami lupakan begitu saja. Kami yakin Allah mendengar doa dan pinta kami. Benar bagi-Nya yang telah menjanjikan kemudahan di setiap kesulitan-kesulitan. Terima kasih ya Allah, lagi-lagi masalah kami telah Engkau ringankan.

Colling down vs hot news

Tinggal di Leuwiliang sebenarnya aku banyak beroleh inspirasi untuk kutuangkan dalam bentuk tulisan seperti ini. Salah satunya menulis cerpen yang mengisahkan pergaulan muda-mudi di daerah ini. Judulnya: “Gadis di Pematang Sawah”. Meski belum sempat kutulis. Berangkat dari kisah nyata seorang gadis desa setempat yang lugu dan (maaf) agak gelo kepada beberapa orang pemuda pendatang (ahai!). Mungkin karena sering bertemu, si gadis desa akhrinya terperangkan dalam ungkapan Jawa yang sangat terkenal itu: witing tresno jalaran suko kulino alias jatuh cinta karena seringnya bertemu, alias cinlok gitu loh…

Benar ini merupakan kisah nyata yang benar-benar nyata. Kalau kuperhatikan sih, si gadis lugu ini sebetulnya periang, gemar tertawa, tapi dari sisi gaya busana dia menganut gaya era tahun 70-an alias gaya konservatif-tradisional. Padahal usianya belum 20 tahun. Tapi yang kami salut, dia itu punya kepercayaan diri yang sangat besar. Saking tingginya malah terlalu over. Begitu, meski sering membuat kesal, tapi tak bisa dipungkiri si Dia yang pede abis ini telah memberikan cerita yang sulit kami lupakan di pengembaraan kami di sini.

Tak perlu kusebutkan namanya, takut nanti banyak yang geer dan ‘merasa’. Teman kami si Manto menyebutnya dengan panggilan si Radiator. Hahaha mungkin karena orangnya terlalu hiperaktif dan sering berputar ke sana ke mari layaknya mesin radiator kali hehe… Dia tinggal di kampung tetangga kami. Kami memang sering berinteraksi dengan pemuda-pemudi kampung tetangga yang kebetulan masih terhitung teman si Radiator juga, seperti Shanti, Yuli dan lain-lain. Singkat cerita, mungkin karena sudah bosan nge-jombloh, si Radiator naksir berat kepada beberapa teman kami di sini (karena menyangkut privasi dan dilindungi undang-undnag tak perlu kusebutkan namanya hehe). Meski harus menelan pil pahit cintanya bertepuk sebelah tangan, ternyata si Radiator bukanlah tipe wanita kebanyakan yang gampang menyerah mengejar lelaki.

Tak disangka, entah bagaimana ceritanya, ternyata aku juga merupakan sasaran terakhir dari si pengejar cinta, Radiator. Aku juga ditaksir olehnya? Padahal sudah menjadi style-nya bila ia naksir dengan seseorang maka tak pelak akan diproklamirkan layaknya sebuah kabar gembira ria. Seolah semuanya telah menjadi miliknya (hehe…abang!) Tak ayal, berita ini segera menjadi topik hangat, mengalahkan persoalan bon di warung dan odol yang sudah tiga hari ini habis. Dan tentu saja, si Radiator sangat berperan dalam memainkan isu ini. Layaknya seorang kepala desa yang mencari dukungan, ia pun tak kalah sibuk bercerita kesana kemari. Dan, semua tertawa gembira. Haha…

Sebetulnya, tak ada masalah dengan tingkah si Radiator yang agak norak itu. Malahan kami menganggapnya sebuah relaksasi. Namun yang membuat kami tak habis pikir adalah tingkahnya di pematang sawah beberapa waktu yang lalu. Si Radiator cs memang sering bermain di pamatang sawah di dekat rumah kami. Tak ada angin tak ada hujan, mungkin dia menganggap dirinya si seksi Rani Mukherje, hari itu, di tengah matahari jam 12 siang, dia tiba-tiba menari-nari layaknya sang bintang di film-film Bollywood saja.

Pada mulanya kami mendapat hiburan gratis di siang bolong. Tapi sebentar. Ya ampun, semua kami yang melihat show tunggalnya hari itu tiba-tiba terlongong-longong. Si Rani Mukherje bajakan yang masih saja menari-nari itu tiba-tiba melepaskan bajunya! Hingga hanya tinggal pakaian dalamnya saja yang tersisa! Masyalah. Wah-wah, aku yang tak menyaksikan langsung saja bisa membayangkan betapa serunya kejadian itu. Begitulah kiranya kisah yang norak ini. Mohon jangan terlalu dianggap serius. Ini cuma romantika yang menjadi pengiring di tengah kegalauan akan keseharian kami yang sempat kering. Lumayan.

Di sela-sela mengisi waktu luang, kami juga menikmati semacam mainan tradisi tahunan di daerah ini. Namanya kolecer. Terbuat dari bambu yang diraut pipih menyerupai kipas angin dengan dua mata sisi. Kalau di Jepang mungkin disebut “baling-baling bambu”. Ukurannya bermacam-macam. Dari yang kecil berukuran panjang 20 cm hingga yang berukuran 2,5 meter bahkan ada yang lebih. Kolecer ini diberi tiang penyangga dan ditegakkan di ketinggian, semacam di atas pohon. Nah ketika angin berhembus kencang, maka kolecer akan berputar sehingga menimbulkan suara yang melengking dan terkadang berirama. Bila angin yang datang tidak beraturan, maka akan terdengar bunyi seperti suara helikopter. Hampir tiap rumah di sini terdapat mainan tradisional seperti ini. Jadi bisa dibayangkan suara yang ditimbulkan dari putaran baling-baling bambu yang berputar serentak dari tiap-tiap rumah. Sungguh suatu hal yang membangkitkan imajinasi tertentu bagi yang mendengarnya. Namun terasa begitu asing bagi yang baru kali itu mendengarnya. Itulah kolecer. Biasanya mainan tradisi ini muncul tiap tahun di bulan-bulan dengan keadaan angin yang berhembus cukup kencang diantara bulan Desember hingga April.

Tak mau kalah dengan penduduk setempat, para Bujang Belantan juga ikut larut dengan permainan tradisi ini. Kami juga membuat kolecer berbagai ukuran dan dari berbagai bahan: mulai dari bambu, plastik bekas, kaleng, sampai pelepah dauh pohon kelapa dan palem yang tumbuh di dekat tempat tinggal kami. Sedikit berbeda, salah satu kolecer yang kami buat kami kreasikan dengan bebunyian kaleng bekas yang diletakkan dekat baling-baling. Kaleng ini diberi semacam tuas dari bambu yang apabila kolecer berputar secara otomatis akan menyentuh tuas yang akan menghasilkan bebunyian dari kaleng tadi. Nah, karena suaranya yang agak beda, kolecer kami yang satu ini banyak mengundang daya tarik para tetangga. Terutama ibu-ibu dan anak-anak. Mungkin mereka menganggap aneh? Kok ada ya kolecer bunyinya garing seperti bunyi kaleng diisi batu? Heheh..itu salah satu cara kami mengisi hari-hari dengan kegiatan santai.

Begitulah. Dalam hidup terkadang akan kita jumpai suatu kebiasaan yang unik. Nah bagaimana kita mengemas sesuatu yang unik menjadi sedikit berbeda, bergantung dengan kreasi yangh kita miliki. Yang terpenting harus pintar-pintar menciptakan suasana yang asik dan menyegarkan. Meski di tengah kondisi yang sangat memprihatinkan sekalipun. Ingat, tak selamanya perjuangan dinilai baik dan realistis.

Ada saja anggapan yang kurang simpatik dan bernada menyepelekan. Begitulah kira-kira sejarah kesuksesan mencatat. Kuncinya harus ber-positive thinking. Anggap semua itu sebagai cambuk yang memacu kreasi kita untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Begitu lebih bijak dan berbobot kiranya. Yakinlah bahwa roda kehidupan selalu berputar. Ibarat kolecer. Kadang diatas, kadang dibawah.

Duh kolecerku…