Sabtu, 02 Februari 2008

Banjir Lagi, MPDT Aje Bang Fauzi…


Hujan yang mengguyur Jakarta dan Bogor dua hari belakangan ini, praktis membuat sebagian besar wilayah ibu kota lumpuh. Di mana-mana lalu-lintas mandek. Air menggenang di jalanan bahkan di rumah-rumah penduduk, menambah pilu warga ibu kota yang baru saja lepas dari masalah serupa seminggu sebelumnya. Duh, ibu kota…

Kondisi ibu kota yang sebagian besar lumpuh dan semrawut akibat banjir, kontan membuat sebuah harian nasional menggerutu. Dalam editorialnya, harian tersebut (Media Indonesia edisi Sabtu, 2 Februari 2008) menyebut kondisi ini sudah memasuki tahap memalukan negara. “Malu memiliki ibu kota negara yang bukan hanya mengalami macet dan semrawut, tetapi juga tiap kali musim hujan datang berubah menjadi sungai dan waduk.”

Sangat beralasan apa yang dikemukakan sebagian besar media kita. Apalagi bila melihat simbol-simbol sebuah bangsa seperti bandara internasional mendadak harus berhenti beroperasi. Seperti yang terjadi Jumat kemarin, Bandara Internasional Soekarno-Hatta ditutup akibat banjir. Tak hanya itu, areal istana negara yang konon, selama ini bebas banjir juga tak luput dari genangan air setinggi 1 meter.

Pertanyaannya adalah mengapa kondisi ini tidak juga bisa diatasi? Mengapa kita semua (yah masyarakat, juga pemerintah dan DPR) tidak pernah belajar dari masa lalu dan dari negara lain? Padahal banyak orang pintar di negara kita? Tapi percuma juga sih kalau kita tidak punya kesadaran dan komitmen untuk keluar dari kondisi ini. Waduh!

Terlepas dari solusi mengatasi banjir dengan membangun Banjir Kanal Timur dan Kanal Barat, yang belum juga terealisasi akibat terbentur masalah pembebasan lahan, pemerintah sebenarnya sudah tahu ada solusi lain dan sangat brilian untuk mengatasi persoalan multi-kompleks ibu kota. Solusi itu adalah dengan membangun dan mengimplementasikan konsep pengelolaan sumberdaya air perkotaan secara terpadu atau bahasa kampung saya Integrated Urban Water Resources Management (IUWRM):-P

Dalam sebuah wawancara khusus saya dengan salah seorang penggagas konsep ini (Dr. Ir. Firdaus Ali, M.Sc) di kampus UI Depok belum lama ini, Firdaus mengemukakan perihal metode ini. Menurut dosen FT-UI ini, salah satu solusi yang pada dasarnya tidak terkendala pembebasan lahan adalah dengan membangun suatu sistem terowongan bawah tanah multi-guna (Multi Purpose Deep Tunnel atau MPDT).

Di negara-negara maju sistem terowongan bawah tanah sudah sangat familiar. Kalau anda hobi nonton film-film action barat seperti Die Hard yang dibintangi Bruce Willis, kita bisa saksikan terowongan yang dimaksud itu. Di dalam terowongan inilah beberapa obyek vital seperti saluran pipa air, gas, telepon dan listrik di tempatkan. Bahkan di dalam terowongan ini juga bisa difungsikan sarana transportasi seperli tol dan jalur kereta api. Kebayang kan kalau kita punya sistem perkotaan seperti ini?

Memang sih, menurut Firdaus Ali, biaya yang dibutuhkan untuk merealisasikan konsep ini sangat besar. Untuk membangun MPDT sejauh 22 kilometer di bawah kota Jakarta dibutuhkan investasi sebesar Rp17, 2 triliun! Toh biaya ini bukan hal yang mustahil bila selama ini kita sanggup menanggung kerugian akibat banjir yang mencapai Rp18,7 triliun dan kerugian akibat kemacetan yang mencapai Rp43 triliun.

Saya sih sepakat, pilih membangun MPDT ketimbang menanggung kerugian yang sudah jelas kita rasakan seperti selama ini. Disamping modern, kita juga bisa merasakan multimanfaat jangka panjang dalam rangka mengatasi beragama persoalan kota seperti kelangkaan air baku, kemacetan, banjir dll. Anda bagaimana?:-D