Kamis, 20 September 2007

Kampung itu Bernama Kampung Kosol


Sebuah Kampung nan Indah di Selatan Kota Bogor
Catatan perjalanan Teknologi Delta Qualstone di Leuwiliang-Bogor *1


Catatan ini merupakan penggalan kisah yang kurangkum dari tanggal 15 Januari – 14 Februari 2006 (bagian pertama dari tiga tulisan). Berisi cerita perjalananku bersama seorang sahabat, Santo namanya, dari kampung halamanku, Tebing Tinggi–Lahat menuju Kampung Kosol, Kabupaten Bogor. Sebuah kisah penuh romantika, sedih, senang dan susah campur aduk jadi satu. Tak sedikit hikmah yang kami dapat. Semua itu demi sebuah perwujudan: Teknologi Delta Qualstone.

* * * *
Hujan yang seakan tiada henti sepanjang perjalanan menuju Jasinga seolah menjadi penyambut bagi kami. Hari itu, Minggu, 15 Januari 2006 kami menjejakkan kaki pertama kali di Kampung Kosol, Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Hujan masih mengguyur saja. Dari terminal Kalideras, Jakarta, tentu saja setelah tanya sana tanya sini, kami naik bus AKAP Jakarta-Jasinga dengan ongkos Rp. 15 ribu per-orang yang menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam. Dari arah Jasinga, kami harus naik angkutan umum lagi ke arah Leuwiliang. Perjalanan tak kurang 20 menit menuju Kampung Kosol, Desa Sadeng, yang menjadi tujuan kami. Di sepanjang perjalanan menuju Leuwiliang ini, aku tak henti-henti mengagumi keindahan alam Bogor yang mempesona. Sempat aku berpikir penduduk di sini pastilah sangat bangga memiliki daerah yang sejuk, subur, yang dialiri oleh sungai besar, serta ditopang oleh perbukitan yang bak raksasa tidur di kejauhan.

Yup, daerah ini memang dikenal sebagai daerah penghujan, mungkin itulah yang menjadikannya berkah bagi alam dan penduduknya. Sangat berbeda dengan suasana Ibu Kota yang bising, polusi dan macet. Suer bikin stress. Aku membayangkan seumpama mempunyai kemampuan secara finansial, sangat ingin aku tinggal dan menetap di daerah pedesaaan yang masih asri. Yang ketika malam tiba akan terdengar suara binatang-binatang kecil seperti jangkrik, kodok atau tokek. Atau bisa dengan leluasa menikmati angin yang berhembus semilir membersihkan paru-paru. Dan ketika pagi tiba akan disambut senandung selamat pagi dari burung-burung hutan yang sampai ke telinga. Cukup sederhana kan? Itulah sebuah pilihan.

Sebetulnya, sudah lama aku menantikan keberangkatan ini. Cuma karena sesuatu dan lain hal, aku bersama Santo temanku, harus menunda sampai saat yang tepat itu tiba. Perlu juga kuterangkan tentang pengalamanku pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta
pertengahan tahun 2005. Bisa dikatakan aku cukup tahu tentang suka-duka perjuangan para Bujang Belantan hingga mendapatkan investor Pak Gandhi ketika berada di Serpong, Tangerang.

Oya, perlu juga kujelaskan arti kata ‘Bujang Belantan’. Dalam bahasa Pagar Alam, Sumsel, bermakna para pemuda yang mempunyai tekad mulia dan tujuan demi kepentingan orang banyak. Bisa dikatakan ‘Bujang Belantan’ merupakan simbol jiwa kepahlawanan seorang lelaki yang pantang menyerah dan gigih berusaha. Begitulah kira-kira arti Bujang Belantan.

Selama berada di Jakarta aku menumpang tinggal di kontrakan kakakku, Edy Suherli, di Meruya, Jakarta Barat. Dia sudah lebih empat tahun bekerja sebagai reporter di tabloid Cek dan Ricek. Melalui koneksi dialah aku sempat merasakan bekerja sebagai reporter tayangan Kroscek yang tayang di TransTV. Selama kurang lebih 3 bulan aku mendapatkan pengalaman jurnalistik yang sungguh seru dan mengasyikkan. Mengasyikkan, pertama, karena bidang jurnalistik adalah keahlianku (aku menyelesaikan kuliah dari mulai D1, D3 hingga S1 di jurusan jurnalistik). Kedua, karena Kroscek merupakan tayangan yang khusus meliput tentang selebriti di Jakarta. Jadi, melalui pekerjaanku aku banyak bertemu dengan fublic figure yang selama ini cuma bisa kusaksikan melalui televisi dan surat kabar. Nama-nama seperti Akbar Tanjung, Emha Ainun Nadjib, Titiek Puspa, aktor kawakan Roy Marten, penyanyi Dhea Mirella, Widi AB Three, Shania, Yuni Shara, Kristina, Rossa, Dewi Sandra, Nugie, mantan artis panas Inneke Koesherawati, bintang sinetron Meisya Siregar, Tia Ivanka, Dhini Aminarti dan Natalie Sarah, merupakan beberapa nama yang pernah kuwawancarai secara eksklusif.

Yak, itulah sekelumit perjalananku bergelut dengan dunia gosip saat menjadi wartawan infotainmen di Jakarta. Di sela-sela menjalani rutinitas yang padat sebagai reporter Kroscek, hampir tiap minggu kusempatkan bertandang ke rumah Kak tiok yang dijadikan markas sekaligus tumpangan tim Delta Qualstone (Kak Agus dan Topan). Dari rumah Kak Tiok yang tidak begitu jauh, selalu kusempatkan pula mampir ke pabrik kasur yang merupakan usaha keluarga milik Kak Tiok yang disulap menjadi pabrik batu. Disanalah para Bujang Belantan menetap tinggal dan setiap hari memproduksi batu Delta secara manual, hingga bisa membuat bangunan prototipe (semacam gazebo berukuran 3x3 meter) yang pada akhirnya mempertemukan Teknologi Delta Qualstone dengan Pak Gandhi. Tim Delta di Serpong waktu itu adalah: Kak Agus, Topan, Sumanto, Andi, Pipen, Pian, Joko, Erik, ditambah Herman, Pak Didit dan Bakti. Kurasakan bagaimana kerasnya mereka meneteskan keringat perjuangan. Lebih banyak harus menahan keinginan dikarenakan kondisi keuangan yang memprihatinkan, makan seadanya, bahkan harus menahan perasaan diantara sesama. Mereka mendapatkan pelajaran ketahanan mental yang sungguh luar biasa. Jarang ada pengalaman seperti ini.

Begitulah cerita perjalananku ketika pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta pertengahan 2005. Bertemu dan merasakan pahit-getir perjuangan para Bujang Belantan selama jauh di rantau dan sempat merasakan pengalaman jurnalistik mengesankan. Semuanya mengajarkanku bagaimana kerasnya kehidupan Kota Metropolitan.

Setelah tidak lagi di Kroscek aku kemudian memutuskan full-time mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran di Delta. Oya, perlu juga kujelaskan sedikit tentang Delta Qualstone. Delta Qualstone merupakan temuan teknologi baru di bidang fisik konstruksi dan produk bahan bangunan multi fungsi dan multi keunggulan. Teknologi ini ditemukan oleh salah seorang putra terbaik bangsa bernama Mursalim yang telah mendapatkan sertifikat pendukung sebagai sebuah temuan teknologi baru. Ke depan teknologi ini direncanakan dikembangkan dengan sistem lisensi-waralaba dengan pasar dunia. Artinya secara ekonomi teknologi ini menjanjikan kemakmuran bukan hanya bagi pemiliknya, tetapi juga bagi bangsa dan Negara sebagai sebuah aset yang menyentuh banyak aspek; ekonomi, politik, sains dan teknologi, serta kebanggaan (pride) sebagai bangsa.

Keinginan untuk full-time di Delta Qualstone juga didukung oleh Kak Salim, sang penemu yang masih terhitung saudara bagiku. Saat itu memang kondisi sangat logis karena perkembangan yang sudah mendapatkan investor yaitu Pak Gandhi. Pikirku, pasti banyak yang bisa kulakukan untuk turut memberikan arti bagi perjalanan dan kemajuan teknologi ini. Aku juga sempat menyaksikan pembahasan draft MoU yang cukup alot antara Kak Salim, Kak Agus, Pak Didit dengan Pak Gandhi bersama istri dan putranya, Yourgen, di rumah Kak Tiok di Serpong, Tangerang. Dalam MoU yang telah ditandatangni disebutkan bahwa star pekerjaan dimulai satu minggu setelah hari raya Idul Fitri 1426 Hijriah (meski dalam kenyataannya agak meleset).

Berhubung star pekerjaan dimulai satu minggu setelah hari raya, maka ada kesempatan buat kami untuk mudik berlebaran di kampung halaman. Sebenarnya saat itu aku sebetulnya tidak ingin mudik karena ingin merasakan berlebaran di Jakarta. Namun karena Kak Salim menawariku untuk pulang bersama mereka, aku akhirnya memutuskan berlebaran di kampung kami, Tebing Tinggi, Lahat, Sumatera Selatan. Kami (aku, Kak Salim dan kedua anak beliau, Habit dan Ana) mudik dengan menumpang pesawat Adam Air dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, dengan tujuan Palembang.

Oya, inilah pengalaman pertamaku terbang dengan menggunakan pesawat (uhuy dasar katro!). Terasa benar aku begitu ketar-ketir, apalagi bila mengingat kecelakaan pesawat yang sering terjadi. Dari Kota Palembang kami melanjutkan perjalanan, setelah sempat menginap di rumah salah seorang anggota bernama Ifan di Pakjo, dengan menumpang kereta api tujuan Tebing Tinggi. Begitulah, aku akhirnya berlebaran di kampungku yang tercinta bersama ibu, kakak dan adik-adikku. Oya lagi, hampir terlewatkan. Saat kami hendak naik KA Serelo tujuan Tebing Tinggi di Stasiun Kertapati, Palembang, aku ingat ada seseorang yang dengan tulus mengantar kepergianku dari sana. Dia seorang gadis, adik tingkatku semasa aku kuliah di STISIPOL Palembang tahun 2002-2004. Dia kini sedang menyelesaikan skripsinya. Akhir-akhir ini komunikasi kami memang terjalin lebih erat. Yah, Kota Empek-empek banyak memberi kesan manis kepadaku. Kurang lebih 2 tahun aku tinggal di Palembang menyelesaikan studi S1 Ilmu Komunikasi. Bila ingat Palembang aku selalu teringat teman-temanku yang kini entah dimana. Dan kenangan-kenangan itu tak mungkin kulupa.

Kembali ke ceritaku semula. Singkat cerita, setelah mendapat kabar dari Kak Salim, aku dan Santo akhirnya berangkat menuju lokasi proyek pertama Delta di Leuwiliang, Bogor. Kami berangkat dari kota kelahiranku, Tebing Tinggi hari Jumat 13 Januari 2006 dengan menumpang KA Serelo menuju Kota Lahat. Tiba di Lahat kami langsung menuju rumah salah seorang anggota Delta di Kota Baru. Eka namanya, orangnya agak berbobot, baik dari intelektualnya maupun tubuhnya (hehe). Ia juga seorang yang kukenal supel dan pintar masak. Setelah berpamitan dengan ibu Eka dan Yus (adik Eka), selepas Isya kami menunggu bus tujuan Jakarta. Kami diantar Eka dan Hendra. Malangnya malam itu Kota Lahat lagi diguyur hujan. Setelah menunggu hampir satu jam tak satupun bus yang kosong. Saat itu memang habis lebaran Idul Adha 1426 Hijriah, jadi kebanyakan bus terisi penumpang yang hendak balik dari merayakan lebaran di kampung halaman. Setelah menimbang-nimbang kami akhirnya memutuskan menunda keberangkatan esok harinya dengan menumpang bus Lantra kelas ekonomi. Ongkosnya waktu itu Rp. 110.000 per-orang. Tepat pukul 11 siang kami akhirnya meluncur menuju Jakarta. Alhamdulillah. Akhirnya.

Lega rasanya menikamti perjalanan ini, setelah menunggu hampir dua bulan lamanya. Bagiku ini bagaikan sebuah perjalanan rohani. Perjalanan merajut hari depan, perjalanan mengukir cita dan cinta. Sungguhlan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Kami berangkat dengan semangat dan tekad di hati. Itulah yang membuat kami menjejakkan kaki di sini. Hari-hari di Leuwiliang adalah hari-hari yang penuh makna. Hari-hari yang terukir dengan dua tinta: hitam dan putih. Mungkin saja. Hari-hari yang penuh cerita indah dan buram. Dimana cobaan dan rintangan bagai arus listrik yang menarik-narik untuk membuat kami menyerah dan kalah. Ada-ada saja. Kami banyak belajar satu sama lain. Saling melengkapi dan mengisi. Saling mengingatkan dan menyelami. Saling asah, asih dan asuh.

Tak perlu banyak kuceritakan betapa banyak romantika yang menghiasi perjalanan ini. Bagiku itu cuma untuk melengkapi betapa penuh arti perjalanan kami. Kami tiba di Kampung Kosol sekitar pukul 13.30 WIB. Menatap langit-langit rumah itu, tak terlukiskan betapa senang hati kami. Bentangan spanduk merah putih seolah mengobarkan gelora dalam jiwa. Itulah spiritnya.

Kami disambut hangat oleh inventor, Kak Agus, Kak Tiok yang kebetulan sedang bertandang disana, dan disambut pula suara merdu para Bujang Belantan yang lagi bernyanyi dengan gitar kopong. Di hari pertama menjejakkan kaki di Markas Leuwiliang ini, inventor sampai dua kali mengajak kami berkeliling menyusuri kampung-kampung Leuwiliang dengan menggunakan Kijang pick-up yang disetir sendiri oleh beliau. Sedikit banyak, sembari menikamati lagu country-nya Tantowi Yahya, inventor bercerita tentang kemajuan-kemajuan Delta. Bercerita tentang kondisi geografis Leuwiliang, dan tentang kebiasaan-kebiasaan penduduknya. Sempat pula kami diajak mampir ke rumah keluarga si Mega, mantan pacar si Joko di Leuwisadeng. Rupanya inventor telah banyak kenal dan cukup akrab dengan penduduk di sana. Ia bahkan sudah dipanggil dengan sebutan “ayah” juga. Di rumah Mega aku juga berkenalan dengan Yeyen, Sulis dan Shanti. Itulah pertama kali kukenal gadis-gadis Bogor yang lumayan geulis euy... Hari-hari berikutnya kerap kami mengulangi ‘silaturahmi’ ke Kampung Leuwisadeng dengan atau tanpa Joko. Bagi kami berteman dan bersosialsiasi dengan penduduk sekitar merupakan salah satu cara untuk belajar. Banyak hal. Seperti tentang bahasa asli, adat istiadat, pergaulan muda-mudi, dan ah…kali aja ada yang nyantol di hati hehe…

Leuwiliang adalah salah satu kecamatan yang terletk di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jarak dari Leuwiliang-Bogor kurang lebih menempuh satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Daerah ini sebenarnya daerah yang kaya SDA. Disini terdapat banyak usaha tambang emas baik yang dilakukan oleh penduduk secara sendiri-sendiri, maupun dikelola dalam skala pabrik. Tanahnya juga subur, dialiri oleh sungai yang melimpah dengan material pasir dan batu koral. Disini juga terdapat kampus yang sangat terkenal yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) yang sebetulnya bisa menjadi ‘referensi’ pemanfaatan lahan pertanian bagi penduduk. Tapi seperti daerah lainnya di Indonesia, potensi-potensi yang dimiliki tidak dimanfaatkan secara maksimal. Disini pendapatan penduduk sangat rendah. Rata-rata mereka bermata pencaharian sebagai buruh tani, menggarap lahan seadanya, adapula yang berdagang, atau menjadi pegawai negeri dan karyawan swasta. Tapi itu sangat sedikit. Anehnya, meski terdapat lembaga pendidikan tinggi sekelas IPB namun kesadaran akan pentingnya pendidikan sangatlah kurang. Banyak remaja-remaja yang cuma bisa menempuh pendidikan sebatas SD, yang pada akhirnya menyebabkan banyak terjadinya perkawinan dini dan rata-rata tidak bertahan lama. Sungguh menyedihkan.

Kenyataan ini membuat kami belajar, betapa masih banyak saudara-saudara kita yang masih belum memahami akan pentingnya arti pendidikan. Siapa yang salah? Rasanya tak ada gunanya mencari kambing hitam. Toh kalau diurut-urut, sumber kebodohan bangsa ini adalah kemiskinan. Kemiskinan yang membuat kita bodoh atau kebodohan yang membuat kita miskin? Rasanya kalimat ini duet yang sangat serasi (kalau tak ingin dibilang langgeng) dari jaman kuda gigit besi, hingga jaman “orang makan semen” hehe... Makin terlecut hati kami untuk merealisasikan misi-misi Delta Qualstone tentang kemakmuran, kesejahteraan, lepas dari kebodohan dan keterbelakangan. Bukankah itu bukan sesuatu yang mustahil…?

Seperti dikondisikan dengan kenyataan, kehidupan kami di Leuwiliang sungguhlah dihiasi suka dan suka. Meski begitu kami tetap berusaha menjadikan hari selalu penuh arti. Ya…meskipun yang kami lakukan belum seefektif yang kami bayangkan. Tapi setidaknya kami tidak berdiam saja menanti kesuksesan. Ada-ada saja yang kami lakukan disini. Merancang even, menentukan strategi, menggali lebih jauh pemanfaatan teknologi Delta, mencari solusi, membuat perhitungan yang lebih matang. Semuanya terkadang dilakukan sembari bersenda-gurau dengan ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok yang dijatahi. Bila waktunya tiba, dengan keikhlasan yang mulai terlatih, kami bersujud menengadahkan tangan meminta kepada-Nya. Sering kami juga melatih kemampuan intelektual dengan melakukan percobaan presentasi yang temanya ditentukan oleh Kak Agus, seperti bagaimana membuat denah dan perencanaan pabrik, bagaimana membangun Kota Besemah sebagai kota terindah di dunia, dan masih ada beberapa tema lagi yang belum sempat kami presentasikan. Duh, ini akan menjadi cerita yang indah untuk anak-cucu kami kelak.

Penting untuk dicatat, kami menganggap kehidupan kami di Leuwiliang merupakan ‘kawah candradimuka’. Disini kami dibiasakan berkompromi dengan keadaan. Tak punya uang alias buntu, makan seadanya, mandi terkadang tidak pakai sabun, odol seringlah tidak ada, bon di warung semakin menumpuk, hutang dengan tetangga belum dilunasi, rokok pun terkadang harus ‘daur ulang’. Klikmaksnya telinga kami sering mendengar nada miring penduduk disini tentang kondisi kami yang katanya sudah bangrutlah, hana-hinilah… Ya ampun hehe.. Mudah-mudahan ini menjadi cambuk bagi kami untuk segera merealisasikan cita-cita dan misi kami. Bukankah sedari awal, perjalanan Delta selalu dihiasi dengan cerita suka dan duka? Toh ini belumlah apa-apa ketimbang merasakan bagaimana pahit getirnya Delta ketika di awal-awalnya dahulu? Ketika Delta belum semaju seperti yang kami rasakan sekarang? Tapi yang sangat kami suka disini, meski selalu dihadapkan pada persoalan sehari-hari, para Bujang Belantan tak pernah kehilangan selera humornya. Selalu. Ada-ada saja cerita yang mengundang tawa seperti cerita tentang ‘begadisan’ (baca: percintaan muda-mudi), nonton dangdutan, nonton ‘kera sakti’ rame-rame, atau sekedar jalan-jalan ke sungai di belakang rumah sembari lihat-lihat yang gratisan hehe…

Tak terasa sudah hampir satu bulan aku dan temanku Santo disini. Yang lainnya memang sudah lebih dulu disini, mungkin sekitar 3 bulanan. Hari-hari di Leuwiliang adalah hari-hari yang akan turut menentukan sejarah perjalanan Delta Qualstone Grup. Sering kami dihadapkan masalah internal, mis-komunikasi, mis-persepsi, hingga terganggunya hubungan personal karena cara pandang yang sulit dimengerti, terkadang tidak logis, bahkan mungkin teramat kekanak-kanakan. Syukurlah, kami yang ada disini selalu dalam kerangka kekompakan, kekeluargaan, satu persepsi, dipayungi kepemimpinan, mengutamakan dialog dalam menyelesaikan masalah, meski lagi-lagi kami harus dihadapkan pada persoalan yang bersumber pada satu titik. Tak henti-hentinya kami selalu mengingatkan tentang arti semua yang kami hadapi. Inilah ujian. Inilah bagian dari perjuangan. Semua pasti ada hikmah yang bisa kami petik. Kami yakin itu.

“Seorang petinju menjadi tangguh bukan karena dibelai dan dielus, namun karena dipukul dan dihajar.” Ini kata-kata yang kukutip dari sebuah buku motivasi karya Hari Subagya yang kupinjam dari Kak Agus. Bahwa siapa yang berjalan hanya ke arah yang benar, tidak akan menemukan banyak jalan. Nilai dari sebuah keberhasilan dibangun dari kesulitan dan jalan-jalan terjal. Berjalanlah terus, walaupun tidak memiliki arti, walaupun Anda tidak melihat adanya kemajuan nyata. Tetaplah berjuang. Anda akan segera melihat hasilnya.

I’m a great believer in luck and I find the harder I work, the more I have of it.” - Thomas Jefferson

Tidak ada komentar: