Senin, 20 Oktober 2008
Aceh Damai dan Kehangatan Para Tukang Ledeng
Artis pun Mendadak Tampil Santun
Selama lima hari, 13-17 Oktober 2008, saya mendapat tugas luar ke Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Ini lawatan pertama saya ke sana. Satu hal yang perlu dicatat, Aceh adalah bumi yang damai, aman dan tentram.
Lupakan tragedi memilukan (gempa dan tsunami) yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Atau konflik horizontal sipil-militer yang telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya dan menelan ribuan nyawa tak terhingga. Aceh kini, berbeda dari Aceh dahulu. Aceh kini adalah Aceh yang bangkit dari keterpurukan dan dengan penuh semangat menata masa depan yang lebih cerah.
Setidaknya kesan inilah yang saya tangkap selama melakukan kunjungan ke Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie dan Kota Banda Aceh. Selama dalam perjalanan ke tiga tempat tersebut, yang terkadang harus melewati kawasan hutan berbukit yang jauh dari keramaian, sama sekali saya tidak menemui kejadian yang tidak diinginkan. Yang saya temukan justru orang-orang Aceh yang ramah, para pengungsi di barak-barak yang tetap optimis memandang hari esok. Sungguh, orang Aceh adalah orang-orang yang kuat dan tabah. Terbukti dengan konflik yang terjadi selama ini, ditambah dengan tragedi gempa dan tsunami, mereka tetap bersemangat menjalani hari-hari. Saya yakin rakyat Aceh begitu mensyukuri perdamaian yang saat ini mereka rengkuh.
Tak terbilang kata yang ingin saya tuangkan selama mengunjungi Bumi Serambi Mekah. Di Aceh Besar saya diajak menginap oleh rekan-rekan tukang ledeng di sana, di salah satu Water Treatment Plant (WTP) milik PDAM Tirta Mountala Kab. Aceh Besar yang letaknya persis di kaki Bukit Barisan yang berjarak sekitar 30 km dari Kota Jantho. Meski hembusan udara pegunungan seperti mencucuk tulang, namun suasana kekeluargaan yang ditunjukkan oleh rekan-rekan di sana begitu hangat hingga saya serasa lupa dengan kekakuan dingin udara malam.
Di Banda Aceh pun saya nyaris menemukan kehangatan serupa yang ditunjukkan oleh rekan-rekan di PDAM Aceh Besar. Saya sangat senang diajak berkeliling Kota Banda Aceh yang masih dalam tahap renovasi dan rekonstruksi. Saya diajak melihat kampung-kampung pesisir, daerah yang paling parah terkena terjangan tsunami seperti Tibang, Perumnas Lingke, Ulee Lheu, Lamprik dan lain-lain. Alhamdulillah, segala bantuan berbentuk rumah dan infrastruktur pendukung lainnya yang dibangun lembaga donor dalam dan luar negeri telah kelihatan hasilnya. Setidaknya hampir sebagian besar masyarakat yang menjadi korban bencana telah mendapatkan hunian yang layak.
Masjid Raya Baiturrahman adalah tempat persinggahan saya yang paling mengesankan. Saya sangat bersyukur, bila selama ini hanya bisa melihat masjid nan megah ini dari kalender atau dari klip adzan Magrib, akhirnya saya bisa menjejakkan kaki dan melakukan sholat berjamaah di sana. Satu hal yang paling unik di masjid ini, selain bentuk bangunan dan sejarah besarnya di masa lalu, adalah banyaknya burung walet yang sejak beberapa tahun belakangan menjadikan masjid ini sebagai kediaman oleh para mahluk cantik itu.
Pada jam-jam sore, kita bisa menyaksikan pemandangan yang menakjubkan di atas atap/kubah dan di cakrawala masjid. Mahluk-mahluk mungil itu hilir mudik terbang ke sana kemari menghiasi langit yang mulai meneduh. Ada yang bertengger di atas pepohonan di sekitar masjid, namun lebih banyak yang nangkring di atas atap/kubah. Jumlahnya mungkin jutaan. Bayangkan hampir tidak ada sisi lowong di atas atap/kubah masjid yang tidak ditempati oleh burung-burung bernilai ekonomi tinggi itu. Padahal, tak sedikit penduduk di sekitar yang menyulap rumah mereka menjadi sarang burung walet. Namun entah kenapa, si cantik lebih menyukai areal masjid sebagai tempat persinggahan mereka. Luar bisa, Allah menghadiahkan karunia yang besar bagi umat Islam di Aceh. Mudah-mudahan pengurus masjid bisa memanfaatkan potensi ini untuk kepentingan umat. Amin.
Sebelum pulang ke Jakarta, saya juga sempat diajak berkeliling oleh Direktur PDAM Tirta Daroy, Pak Junaidi. Setelah membeli oleh-oleh khas Aceh, saya diajak Pak Junaidi meninjau pantai Lok Ngah di Aceh Besar yang sangat indah. Seperti daerah-daerah pesisir lainnya, daerah ini juga tak luput dari terjangan tsunami. Namun kini telah mulai berbenah menjadi daerah industri dan daerah wisata nan cantik. Setelah mengitari wilayah ini hampir setengah jam, Pak Junaidi yang orang lapangan itu, juga berbaik hati mengantar saya ke Bandara Sultan Iskandar Muda.
Meski sekarang saya sudah di Jakarta, saya tentu tidak akan lupa dengan keramahtamahan rekan-rekan dari PDAM Aceh Besar, PDAM Pidie dan PDAM Kota Banda Aceh. Saya tidak mungkin lupa dengan rasa khas Mie Aceh yang lezat, atau kedahsyiatan kopi Ulee Kareng yang hmmm...membuat kepala saya melayang-layang. Saya akan selalu mengenang kehangatan saat bermalam bersama rekan-rekan tukang ledeng di Bukit Jantho. Saya tentu tidak akan lupa saat menyaksikan kapal tongkang PLTD Apung yang terdampar di Kampung Punge Balangcut. Kapal berbobot mati 200 ton itu dahulunya berada di Pelabuhan Ulee Lheu yang berjarak sekitar 4 km dari tempatnya kini terdampar. Kapal milik Pertamina itu, kini menjadi semacam monumen untuk mengenang kedahsyiatan gelombang tsunami.
Dalam perjalanan dari WTP Jabal Gafur milik PDAM Pidie ke kantor pusat PDAM Pidie di Sigli, kami juga sempat berpapasan dengan iring-iringan mobil rombongan mantan deklarator GAM Hasan Tiro yang mengunjungi tanah kelahirannya, Pidie, yang telah lebih 30 tahun tidak disambanginya. Meski tidak bertatap muka secara langsung dengan Wali (sebutan masyarakat Aceh untuk Teungku Hasan Muhammad di Tiro), saya yakin pemikiran kami, pemikiran rakyat Aceh tidak begitu jauh berbeda. Aceh damai adalah impian. Aceh yang besar dan maju adalah harapan semua pihak.
Oya, ada satu hal lagi yang membuat saya geli, yang saya temui di Aceh ini. Di Jakarta saya temui banyak sekali billboard salah satu operator selular yang memajang pose artis cantik Luna Maya atau Asmirandah yang berpakaian sedikit seksi. Tapi yang saya temukan di Aceh berbeda 180 derajat! Di sana saya menemukan Luna Maya dan Asmirandah tampil dalam balutan busana muslimah yang anggun layaknya perempuan-perempuan Aceh. Hmm...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar