Sabtu, 06 Oktober 2007
Pulang Kampung Gretong
Horee...Pulang Kampung Yuuu....
Tradisi pulang kampung di saat lebaran sudah menjadi tradisi tahunan sejak lama. Pun di lebaran tahun 2007 ini. Yang menyenangkan justru bagi mereka yang bisa mudik merayakan lebaran bersama keluarga tercinta. Alhamdulillah termasuklah aku sendiri ;-P.
Bila tahun kemarin aku tidak bisa pulkam karena libur pekerjaan yang super-singkat, alhamdulillah di tahun ini--setelah pindah kantor baru tentunya--aku bisa mudik juga. Asyiiiikkk……
Yang lebih membahagiakan--selain bayangan kumpul keluarga, bercengkrama dengan ponakan-ponakan (karena aku masih buzangan alias belum punya anak coii), ketemu teman-teman lama, dan juga makan masakan ueeenaak buatan ibu--mudik tahun ini aku pulang secara gretong alias dibiayai kantor. Naik pesawat coii. Lha kok bisa?
Ini yang namanya rejeki nggak kemana-mana bro... Ceritanya 3 hari sebelum lebaran kantorku ada janji wawancara dengan Dirut PDAM “Tirta Musi” Palembang, DR. Ir. Syaiful, CES, DEA. Berkat kebijaksanaan editorku Pak Dwike Riantara, akhirnya akulah yang ditunjuk untuk wawancara (padahal pssstt…aku kan masih reporter junior?). So, sehabis wawancara aku bisa langsung bertolak ke kampung halamanku, Tebing Tinggi-Lahat. Ueenaak tenaaann…
Syukur kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan karunia kepada hamba-Nya. Mudah-mudahan keberkahan Ramadhan 1428 Hijriyah tahun ini, membawa kita pada perubahan yang lebih baik. Salam pulang kampung. Jangan sedih bagi yang belum bisa pulkam. Terus berusaha dan berdoa yah. Jangan lupa bayar zakat :-P.
Favorit di Kamboja belum Tentu di Indonesia
Daging Tikus, Menu Favorit di Kamboja
Di Kamboja, daging tikus merupakan salah satu menu favorit. Bagaimana dengan di Indonesia? Wah, jelas saja semua pasti sepakat—no way! Tapi kasihan yah, tak sedikit pedagang bakso kita yang nakal mengoplos daging sapi dengan daging tikus. Hiii,,,
Phnom Penh, 18 Pebruari 2004 11:16/AFP/GATRA
Wabah flu burung sudah merugikan, bahkan membikin bangkrut peternak di Asia. Namun kini ada peluang baru bagi para pedagang, khususnya di Kamboja: jualan daging tikus!
"Saya selalu mendapatkan permintaan terus menerus dari pembeli," ujar Van Vath, seorang tukang daging tikus di Battambang, sebuah kota di Barat Kamboja, kepada harian Cambodge Soir, sebagaimana dilansir AFP.
Dengan jumlah pembeli yang sekarang sudah menjadi pelanggan, permintaan akan tikus semakin tinggi. Sejak mewabahnya virus flu burung yang tercatat telah mematikan jutaan ayam dan sedikitnya 20 nyawa manusia, wanita ini telah menjual lebih dari 200 kilogram daging hewan pengerat ini setiap paginya-dua kali lebih banyak dari penjualan biasanya.
Di sejumlah negara Asia Tenggara yang tertinggal, tikus dikonsumsi manusia setelah digoreng atau dipanggang dan dimakan dengan sayur. Harganya pun terhitung sangat terjangkau, yakni 40 sen AS per kilogram. Tikus merupakan makanan favorit di pedesaan Kamboja.
Selain itu, laba-laba, kumbang air, jangkerik, ular, katak, dan semut juga merupakan makanan tradisional di Kamboja. Menurut sejarah, jenis hewan tersebut dikonsumsi oleh para petani yang kelaparan, saat rezim Khmer Merah di tahun 1970-an.
Bagaimana dengan di Indonesia? Kita patut waspada!
Lain negara, lain pula selera. Blogger, saya pikir kita sepakat, senikmat apa pun yang namanya daging tikus di lidah orang Kamboja, namun di negara kita tentu lain persoalan. Belum ada ceritanya dalam sejarah kuliner kita yang menyebutkan daging tikus itu mak nyuusss rasanya… Kalau tidak percaya coba saja tanya ke Om Bondan Winarno. Kalau ke Islam sendiri sudah jelas hukumnya; daging tikus tak beda jauh dengan daging celeng dan daging anjing.
Blogger, isu tentang penjual bakso yang mengoplos daging sapi--daging yang banyak digunakan sebagai bahan olahan bakso--dengan daging tikus pun bukanlah isu baru. Bahkan hingga sekarang, para penikmat bakso sering kali dihinggapi perasaan was-was saat akan memakan panganan yang satu ini. Bagi penikmat bakso, tentu hal ini amat merisaukan.
Tak hanya bakso, sebenarnya, yang harus kita waspadai. Di pasaran juga sering kita dengar ulah para pedagang nakal yang mementingkan kepentingan sesaat. Ada daging yang disuntik dengan air biar tambah berat, daging tiren (mati kemaren) alias bangkai, daging yang diberi formalin dan pengawet sejenis lainnya, daging babi/tikus yang dioplos, dan lain-lain.
Tak ada cara lain, sebagai konsumen selain mengharapkan keseriusan pemerintah untuk segera mengatasi para pedagang yang curang, kita harus lebih hati-hati dan lebih teliti. Ingatlah pesan Bang Napi: “Waspadalah…waspadalah…”
Di Kamboja, daging tikus merupakan salah satu menu favorit. Bagaimana dengan di Indonesia? Wah, jelas saja semua pasti sepakat—no way! Tapi kasihan yah, tak sedikit pedagang bakso kita yang nakal mengoplos daging sapi dengan daging tikus. Hiii,,,
Phnom Penh, 18 Pebruari 2004 11:16/AFP/GATRA
Wabah flu burung sudah merugikan, bahkan membikin bangkrut peternak di Asia. Namun kini ada peluang baru bagi para pedagang, khususnya di Kamboja: jualan daging tikus!
"Saya selalu mendapatkan permintaan terus menerus dari pembeli," ujar Van Vath, seorang tukang daging tikus di Battambang, sebuah kota di Barat Kamboja, kepada harian Cambodge Soir, sebagaimana dilansir AFP.
Dengan jumlah pembeli yang sekarang sudah menjadi pelanggan, permintaan akan tikus semakin tinggi. Sejak mewabahnya virus flu burung yang tercatat telah mematikan jutaan ayam dan sedikitnya 20 nyawa manusia, wanita ini telah menjual lebih dari 200 kilogram daging hewan pengerat ini setiap paginya-dua kali lebih banyak dari penjualan biasanya.
Di sejumlah negara Asia Tenggara yang tertinggal, tikus dikonsumsi manusia setelah digoreng atau dipanggang dan dimakan dengan sayur. Harganya pun terhitung sangat terjangkau, yakni 40 sen AS per kilogram. Tikus merupakan makanan favorit di pedesaan Kamboja.
Selain itu, laba-laba, kumbang air, jangkerik, ular, katak, dan semut juga merupakan makanan tradisional di Kamboja. Menurut sejarah, jenis hewan tersebut dikonsumsi oleh para petani yang kelaparan, saat rezim Khmer Merah di tahun 1970-an.
Bagaimana dengan di Indonesia? Kita patut waspada!
Lain negara, lain pula selera. Blogger, saya pikir kita sepakat, senikmat apa pun yang namanya daging tikus di lidah orang Kamboja, namun di negara kita tentu lain persoalan. Belum ada ceritanya dalam sejarah kuliner kita yang menyebutkan daging tikus itu mak nyuusss rasanya… Kalau tidak percaya coba saja tanya ke Om Bondan Winarno. Kalau ke Islam sendiri sudah jelas hukumnya; daging tikus tak beda jauh dengan daging celeng dan daging anjing.
Blogger, isu tentang penjual bakso yang mengoplos daging sapi--daging yang banyak digunakan sebagai bahan olahan bakso--dengan daging tikus pun bukanlah isu baru. Bahkan hingga sekarang, para penikmat bakso sering kali dihinggapi perasaan was-was saat akan memakan panganan yang satu ini. Bagi penikmat bakso, tentu hal ini amat merisaukan.
Tak hanya bakso, sebenarnya, yang harus kita waspadai. Di pasaran juga sering kita dengar ulah para pedagang nakal yang mementingkan kepentingan sesaat. Ada daging yang disuntik dengan air biar tambah berat, daging tiren (mati kemaren) alias bangkai, daging yang diberi formalin dan pengawet sejenis lainnya, daging babi/tikus yang dioplos, dan lain-lain.
Tak ada cara lain, sebagai konsumen selain mengharapkan keseriusan pemerintah untuk segera mengatasi para pedagang yang curang, kita harus lebih hati-hati dan lebih teliti. Ingatlah pesan Bang Napi: “Waspadalah…waspadalah…”
Langganan:
Postingan (Atom)